Pertanyaan:
- Bolehkah orang yang berhadas besar (misalnya wanita yang sedang haid) membaca al-Quran, sebab dalam surat al-Waqi‘ah ayat 79 disebutkan laa yamassuhu illal-muthahharuun?
Penanya:
Wakidjo Az., NBM. 494.220
Agen SM No. 025, Metro Lampung Tengah
Jawaban:
Tentang hukum membaca al-Quran bagi orang yang berhadas besar (misalnya wanita yang sedang haid). Bagaimana hubungannya dengan firman Allah: laa yamassuhu illal-muthahharuun? Pertanyaan seperti di atas pernah diajukan dan telah dijawab, serta dapat dibaca pada buku “Tanya Jawab Agama” jilid II cet. VI halaman 34-35. Pada kesimpulan penjelasan yang dimuat dalam buku tersebut dinyatakan bahwa larangan membaca al-Quran bagi orang yang berhadas besar hanyalah berdasarkan etis dan kepatutan serta sebagai tanda memuliakan dan menghormati Kalamullah, karena tidak ditemukan hadis yang dapat dijadikan hujjah yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Bahkan ada hadis sahih yang mengisyaratkan bahwa orang yang berhadas besar boleh membaca al-Quran.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ. [رواه مسلم وأبو داود والترمذى].
“Diriwayatkan dari Aisyah ra., ia berkata: Adalah Nabi saw menyebut nama Allah dalam segala hal.” [HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Turmudzi].
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa orang yang berhadas besar boleh berzikir menyebut nama Allah. Membaca al-Quran dapat disamakan dengan menyebut nama Allah.
Mengenai ayat laa yamassuhu illal-muthahharuun (al-Waqi‘ah ayat 79) menurut riwayat diturunkan di Makkah, sebelum Nabi saw hijrah ke Madinah. Sedang mushaf al-Quran baru ada pada zaman Khalifah Utsman bin Affan, yang berarti adanya mushaf al-Quran setelah lebih kurang 30 tahun setelah ayat tersebut diturunkan. Pada masa Khalifah Utsman baru ada lima mushaf dan itupun belum beredar ke tengah masyarakat. Mushaf al-Quran baru dicetak dan mulai beredar ke tengah masyarakat lebih kurang 900 tahun kemudian. Karena itu, ayat di atas tidak ada kaitannya dengan mushaf al-Quran.
Dari pendapat para mufassir dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-muthahharuun, ialah orang yang suci yang benar-benar beriman kepada Allah, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Orang-orang inilah yang dapat menyentuh isi dan kandungan al-Quran. Sedangkan orang yang tidak suci tidak akan dapat menyentuh kandungan dan isi al-Quran. Orang-orang suci yang dimaksud mungkin malaikat, dan mungkin manusia, dan mungkin pula kedua-duanya.
Sebagaimana telah diterangkan di atas, bahwa Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam berpendapat, yang paling baik bagi orang yang hendak membaca al-Quran adalah ia dalam keadaan suci dari hadas dan najis, serta berwudhu terlebih dahulu. Karena yang akan kita baca bukan sembarang kitab, melainkan wahyu Allah yang menjadi petunjuk hidup bagi manusia. Pendapat ini sesuai pula dengan pendapat Ibnul Qayyim.
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah