Hukum Berangkat Haji Bukan Dengan Biaya Sendiri
Pertanyaan:
Bolehkah seseorang menunaikan ibadah haji bukan dengan biaya sendiri, misalnya saja dibiayai oleh orang tua? Dan apakah syarat wajib haji itu? (Ibnu Mudzakar, Jl. Panjaitan 16, Gumprit, Brebes, Jawa Tengah).
Jawaban:
Orang yang diwajibkan melaksanakan ibadah haji ialah orang yang mempunyai kemampuan, dalam arti istithaa’ah. Syarat disebutkan dalam ayat 97 surat Ali Imran.
وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا
Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup (mampu) mengadakan perjalanan kepadanya.”
Kesanggupan atau istithaa’ah menurut mufassir dan para fuqaha, dapat disimpulkan pada tiga hal, yakni:
a. Istihtaa’ah badaniyyah, yakni kemampuan fisik, meliputi kekuatan fisik dan kesehatan. Sehingga tidaklah berkewajiban orang yang sudah tua dan lemah. demikian pula tidaklah berkewajiban melakukan ibadah haji orang yang sakit berat.
b. Istithaa’ah maliyyah, yakni kemampuan keuangan, maksudnya bekal untuk melakukan perjalanan haji serta bekal hidup bagi keluarga yang ditinggalkan untuk keluarganya.
c. Istithaa’ah maniyyah, yakni kemampuan yang berupa keamanan dalam perjalanan. Untuk wanita pengertian keamanan ini menjadikan illah baginya untuk bersama mahramnya.
Demikianlah syarat wajib orang menjalankan ibadah haji pada pokoknya. Sebagian ulama menambah dari tiga itu. Sebagian lain mencukupkan hanya dua saja yakni bekal dan sarana perjalanan (alat transportasi). Mengenai dua syarat ini didasarkan pada riwayat Ad Daraquthny dari banyak sahabat seperti Jabir, Ibnu Umar, Ibnu Amr, Anas dan ‘Aisyah, dan bahwa ketika Nabi ditanya tentang apa yang dimaksudkan dengan SABIL dalam kata “Istathaa’a sabiila”, beliau menjawab: AZZAAD WARRAAHILAH. Demikian pula riwayat at Tirmidzy yang dikualifikasikan sebagai Hadis hasan, riwayat itu dari Ibnu ‘Umar, yang menceritakan bahwa seorang datang kepada Nabi saw. dan bertanya tentang apa yang menjadikan haji itu wajib. Nabipun menjawab: AZZAAD WARRAHILAH, artinya bekal dan kendaraan.
Jadi bekal serta sarana perjalanan menjadi syarat utama wajibnya melakukan ibadah haji. Mengenai bekal dan sarana ini tidak banyak dibicarakan apakah hasil sendiri atau boleh pemberian orang lain. Tetapi yang jelas sarana ibadah dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah haruslah sesuai dengan perintah Allah dan menjauhi yang dilarang oleh Allah. Dalam hal ini, Allah melarang memiliki dan menggunakan barang yang haram dan memerintahkan menggunakan barang yang halal. Dalam hal bekal menunaikan ibadah haji, berdasarkan riwayat Ath Thabarany dalam Al Ausath, Nabi menyatakan kepada orang yang menunaikan haji dengan bekal yang halal mendapat doa yang baik agar hajinya termasuk haji mabrur, sedang sebaliknya, orang yang berangkat dengan bekal yang haram, sejak berangkatnya telah mendapat seruan dari langit, bahwa hajinya tertutup, bukan haji mabrur.
Mengenai bekal yang halal dan haram tergantung dari cara memperolehnya. Pemberian orang lain dengan ikhlas termasuk bekal yang halal. Pemberian orang lain yang tidak wajar tentu bukanlah termasuk yang halal. Berhaji dengan bekal orang tua tentu termasuk yang halal dan menjadikan hajinya termasuk haji yang sah kalau rukun dan syarat-syarat lain terpenuhi.