Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Selama 2 (dua) tahun terakhir kami telah mengikuti pelaksanaan ibadah shalat Idain (Idul Fithri dan Idul Adha) di 4 (empat) tempat yang berbeda, dan terakhir kami mengikuti shalat Idul Fithri tanggal 12 Oktober 2007 yang diselenggarakan oleh warga Muhammadiyah Sukamenak Bandung Jawa Barat. Dalam pelaksanaan shalat Id di Bandung tersebut ada perbedaan dengan apa yang biasa dilakukan oleh Pemerintah dan Muhammadiyah di tempat lain.
Pertanyaan kami:
- Mengapa sesama Muhammadiyah terdapat perbedaan pada cara pelaksanaan takbir shalat Idain?
- Apa yang menyebabkan adanya perbedaan dalam pelaksanaan takbir shalat Idain tersebut?
Kami mohon penjelasan dari Majlis Tarjih dan Tajdid tentang perbedaan tata cara pelaksanaan shalat Id tersebut.
Pertanyaan Dari:
Arief Fadhillah, Bandung Jawa Barat
(disidangkan pada Jum’at, 23 Muharram 1429 H / 1 Februari 2008 M)
Jawaban:
Waalaikumussalam Wr. Wb.
Persoalan yang saudara tanyakan sama dengan apa yang telah ditanyakan oleh saudara Muhammad Parigi dari Sulawesi Tengah, dan jawaban lengkap tentang itu bisa dibaca pada buku Tanya Jawab Agama jilid 1 hal. 113-115. Secara ringkas dapat kembali kami sampaikan: Muktamar Tarjih ke-20 di Garut tahun 1976 telah memutuskan bahwa takbir dalam shalat Idain ialah tujuh kali (takbir) pada rakaat pertama dan lima kali (takbir) pada rakaat kedua. Keputusan Muktamar Tarjih tersebut telah ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1397/1977.
Adapun keputusan itu berbunyi:
ثُمَّ يُكَبِّرُ بَعْدَ تَكْبِيْرَةِ الإِحْرَامِ سَبْعَ تَكْبِيْرَاتٍ لِلرَّكْعَةِ الأُوْلَى وَخَمْسًا لِلثَّانِيَةِ.
Artinya: “Kemudian sesudah takbiratul-ihram, membaca tujuh kali takbir pada rakaat pertama dan lima kali takbir pada rakaat kedua.”
Sedangkan dalil-dalil yang dijadikan alasan adalah:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ فِي اْلأُولَى سَبْعًا قَبْلَ الْقِرَاءَةِ وَفِي اْلآخِرَةِ خَمْسًا قَبْلَ الْقِرَاءَةِ. [رواه الترمذى]
Artinya: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. bertakbir pada shalat dua hari raya tujuh kali (takbir) pada rakaat pertama dan lima kali (takbir) pada rakaat kedua sebelum membaca (surat).” [HR. at-Tirmidzi]
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي عِيدٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيرَةً سَبْعًا فِي اْلأُولَى وَخَمْسًا فِي اْلآخِرَةِ وَلَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا. [رواه أحمد]
Artinya: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. bertakbir pada (shalat) hari raya dua belas kali takbir, pada rakaat pertama tujuh kali (takbir) dan pada rakaat yang terakhir (kedua) lima kali (takbir), dan beliau tidak shalat (sunnah) baik sebelum maupun sesudahnya.” [HR Ahmad]
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ قَالَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التَّكْبِيرُ فِي الْفِطْرِ سَبْعٌ فِي اْلأُولَى وَخَمْسٌ فِي اْلآخِرَةِ وَالْقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا. [رواه أبو داود]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdillah bin ‘Amr bin ‘Ash ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Takbir di hari raya fithri tujuh kali (takbir) pada (rakaat) pertama dan lima kali (takbir) pada rakaat yang akhir (kedua), dan bacaan sesudah kedua-duanya.” [HR. Abu Dawud]
Untuk menjawab pertanyaan saudara (mengapa sesama Muhammadiyah ada perbedaan dalam pelaksanaan takbir shalat Id dan apa yag menyebabkan adanya perbedaan tersebut), sesuai dengan hasil pembacaan kami terhadap dokumen Tarjih yang ada kaitannya dengan pertanyaan saudara, perlu kami sampaikan beberapa hal sebagai berikut:
Mengenai jumlah takbir zawaid di dalam shalat Idain terdapat dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa takbir zawaid itu tujuh dan lima, yakni sesudah takbiratul ihram membaca tujuh kali takbir pada rakaat pertama, dan lima kali takbir pada raka’at kedua setelah takbir intiqal. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa takbir dalam shalat Idain itu satu–satu, yaitu takbir dalam shalat Idain dilakukan satu kali pada raka’at pertama dan kedua sebagaimana halnya shalat biasa seperti shalat jum’at dan lain-lain.
Pendapat pertama (takbir zawaid berjumlah tujuh–lima) beralasan pada hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzy sebagaimana dijelaskan di atas. Juga berdasarkan kepada Qaidah Tarjih tentang “hadis-hadis dhaif yang dapat dijadikan hujjah”. Qaidah yang dimaksud adalah:
الأَحَادِيْثُ الضَّعِيْفَةُ يَعْضَدُ بَعْضُهَا بَعْضًا لاَيُحْتَجُّ بِهَا إِلاَّ مَعَ كَثْرَةِ طُرُقِهَا وَفِيْهَا قَرِيْنَةٌ تَدُلًّ عَلَى ثُبُوْتِ أَصْلِهَا وَلمَ ْ تُعَارِضِ الْقُرْآنَ وَالْحَدِيْثَ الصَّحِيْحَ.
Artinya: “Hadis-hadis dhaif yang menguatkan satu pada lainnya tidak dapat digunakan sebagai hujjah, kecuali apabila banyak jalannya dan terdapat padanya qarinah yang menunjukkan ketetapan asalnya dan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadis Shahih.”
Dari qaidah tersebut dapat dipahami bahwa hadis-hadis tentang takbir zawaid, meskipun tingkatannya tidak sampai pada derajat hadis shahih bahkan dikatakan dha’if, tetapi jalannya banyak dan terdapat qarinah yang menunjukkan asalnya, yaitu bahwa takbir tujuh–lima dipraktekkan oleh beberapa shahabat.
Sedangkan pendapat kedua, takbir dalam shalat Idain itu satu–satu seperti yang dipegangi oleh Muhammadiyah Jawa Barat, beralasan bahwa hadis-hadis yang menunjukkan takbir tujuh–lima semuanya tidak ada yang sampai pada derajat shahih, dan hadis dhaif meskipun banyak jumlahnya tidak bisa saling kuat menguatkan untuk dijadikan hujjah. Muhammadiyah Jawa Barat belum menerima Qaidah “hadis-hadis dhaif yang dapat dijadikan hujjah”, karena bertentangan dengan (pemahaman) definisi “as-sunnah ash-shahihah” yang terdapatt dalam definisi ad-Din menurut keputusan Tarjih. Menurut Muhammadiyah Jawa Barat, yang dimaksud as-sunnah ash-shahihah dalam definisi ad-Din adalah hadis shahih, sedangkan hadis hasan, baik hasan lidzatih atau hasan lighairih tidak termasuk hadis shahih. Definisi ad-Din yang telah diputuskan oleh Majlis Tarjih pada tahun 1954 adalah sebagai berikut:
الدِّيْنُ (أى الدين الإسلامي) الَّذِى جَاءَ بِهِ مُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلّم هُوَ مَا أَنْزَلَهُ اللهُ فِى الْقُرْآن وَمَا جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ الصَّحِيْحَةُ مِنَ اْلأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِى وَاْلإِرْشَادَاتِ لِصَلاَحِ اْلعِبَادِ دُنْيَاهُمْ وَأُخْرَاهُمْ.
Artinya: “Agama (agama Islam) adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. ialah apa yang diturunkan Allah di dalam al-Quran dan yang tersebut dalam sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan di akhirat.
Demikianlah penjelasan atau jawaban yang dapat kami sampaikan semoga menjadikan wawasan bagi kita semua.
Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No. 6, 2008