Pertanyaan:
Di daerah kami seringkali ada orang mengadakan hajatan tasyakuran, tidak terkecuali juga warga Muhammadiyah. Selesai hajatan, dan setelah semua hutang-hutangnya dibayar, mereka mempunyai harta lebih. Timbullah pertanyaan haruskah harta itu dikenai kewajiban zakat? Kalau wajib, bagaimana caranya? Apakah dianggap muzaro’ah, mal atau barang luqotoh?
KHM Suhud, NBM. 746.903, SMU Muhammdiyah 1 Simo, Boyolali, Jl. Madu 152, Ngreni-Simo-Boyolali
Jawaban:
Perlu diperjelas lebih dahulu asal dari harta yang dimiliki, seusai mengadakan hajatan. Kalau harta tersebut berasal dari tabungan atau hasil kerja atau dari sumber-sumber lain yang halal dan apabila telah memenuhi nisab dan haulnya serta telah dikeluarkan zakatnya, maka harta tersebut tidak dikeluarkan zakatnya. Tetapi apabila terhadap harta tersebut belum dikeluarkan zakatnya, maka harus dikeluarkan zakatnya yang dihitung dari sebelum mengadakan hajatan (termasuk dihitung harta yang dipergunakan untuk mengadakan hajatan). Apabila belum mencapai nisabnya dan atau belum juga sampai batas haulnya, maka tidak dikenakan zakat. Apabila harta tersebut berasal dari sumbangan atau pemberian sanak saudara, handai taulan, dan para tamu yang diundang, kiranya lebih tepat jika harta tersebut termasuk harta yang diperoleh dari hibah atau sadaqah, sebab dalam pemberian atau sumbangan ini tidak ada ketentuan hukum yang mengharuskan penerima untuk memberikan imbalan. Sedangkan hidangan yang disajikan atau adanya beban sosial untuk membalas memberikan sumbangan jika penyumbang pada suatu saat mengadakan hajatan, bukan merupakan imbalan yang ditetapkan atau sebagai konsekuensi hukum dari pemberian atau sumbangan yang telah diterima. Oleh karena itu apabila hidangan yang disajikan tidak memuaskan bagi penyumbang atau pada suatu saat tidak membalas sumbangan yang seharga dengan yang diterima atau bahkan tidak membalas menyumbang sama sekali, tidak membatalkan sumbangan yang telah diterima dan tidak ada akibat hukum yang lain. Hal itu hanya merupakan kewajiban moral/etika, yakni untuk berbuat baik kepada orang yang telah berbuat baik. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari ‘Abdullah ibn ‘Umar r.a. Disebutkan:
….وَمَنْ أَتَى إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ، فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَادْعُوا لَهُ (رواه البيهقى)
Artinya: …dan terhadap orang yang memberikan kebaikan kepadamu, hendaklah dibalas, apabila kamu tidak dapat membalas, maka doakanlah. (HR. Al-Baihaqi).
Demikian pula harta pemberian itu kurang/tidak tepat untuk disebut luqatah, karena harta tersebut tidak diperoleh dengan menemukan harta yang belum/tidak diketahui pemiliknya, dan juga bukan muzara’ah, karena harta tersebut tidak diperoleh dari perjanjian antara pemilik tanah dan penggarapnya.
Zakat dari harta yang diperoleh dari hibah termasuk zakat mal. Oleh karena itu apabila harta tersebut setelah dikurangi hutang, telah memenuhi nisabnya, yaitu apabila sekurang-kurangnya mencapai seharga emas 24 karat seberat 85 gram dan memenuhi haulnya, yaitu selama satu tahun, diwajibkan mengeluarkan zakatnya sebesar dua setengah persen dari harta tersebut.