Pertanyaan:
Dalam SM No. 07 Tahun ke-82, 1-5 April 1997, dalam rubrik Fatwa Agama Nomor 2 tentang shalat dua rakaat berulang-ulang pada hari Jum’at, terdapat jawaban. Di antaranya, “sedang shalat sunnat qabla Jum’at tidak ada tuntunannya”. Jawaban dari pengasuh rubrik Fatwa Agama berbeda jauh dari putusan Tarjih sendiri. Karena pengasuh rubrik mengatakan, tidak ada shalat sunnah pada hari Jum’at. Kecuali: 1. Shalat tahiyatul Masjid, 2. Shalat sunnah wudhu (ba’dal wudhu). Sementara itu, dalam HPT cetakan pada halaman 142 (nomor 33), disebutkan: Karena Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Ayyub r.a. yang berkata bahwa aku mendengar Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at dan mengenakan wangi-wangian bila ada, dan memakai pakaian yang terbaik, kemudian keluar dengan tenang sehingga sampai ke masjid lalu shalat—seberapa menurut kehendaknya—dan tidak mengganggu seseorang, kemudian berdiam diri sambil memperhatikan kepada khutbah imam sejak ia datang hingga berdiri shalat, maka adalah perbuatannya yang demikian itu menjadi pembebas dosanya antara Jum’at hari itu dengan hari Jum’at berikutnya.”
Dengan demikian, jawaban pengasuh rubrik jelas bertentangan dengan putusan Tarjih, sehingga menimbulkan kebingungan bagi anggota persyarikatan. Barangkali, yang perlu dijelaskan lebih lanjut tentang nama shalat itu. Shalat yang berulang-ulang pada hari Jum’at itu shalat sunnah apa? Ada yang menamakannya shalat intizar (menunggu waktu). Untuk itu, kami mohon penjelasan lebih lanjut (H. Muhammad A. Karim, Wakil Ketua PDM Kab. Musi Banyuasin, Sekayu).
Tanggapan mengenai hal ini juga disampaikan oleh Bapak H. Ainan Widagdo, Gedung Batu Timur 59 Semarang Barat – 50148. Menurut bapak Ainan, bahwa jawaban dari Tim Pengasuh Rubrik, bertentangan dengan buku Tanya Jawab Agama Jilid I, pada masalah shalat Jum’at (nomor 5), yang membenarkan adanya shalat qabliyah Jum’at, dengan dasar Hadits Nabi dari Abu Dawud dari Nabi. Dan juga bertentangan dengan HPT pada halaman 118, bahwa ada anjuran, setelah tiba di masjid shalatlah sekuatmu dan jangan mengganggu seseorang. Kami ingin mendapatkan penjelasan yang dimaksud “sekuatmu” itu. Sekiranya tidak cukup dengan shalat sunnah wudhu, tahiyatul masjid, karena khatib belum naik mimbar (belum adzan), apakah dapat disambung dengan shalat Dhuha? Pertanyaan serupa juga datang dari Bapak L.H. Siregar, NBM. 532.887, Jalan Durian III? 04 Perumnas Batu Anam, Pematang Siantar – 21151.
H. Muhammad A. Karim, Wakil Ketua PDM Kab. Musi Banyuasin, Sekayu
Jawaban:
Kami sampaikan terimakasih atas tanggapan/ koreksinya. Yang kami maksud dalam jawaban kami pada SM No. 07 Tahun ke-82, April 1997, adalah sebagai berikut:
Pertama, yang dimaksud dengan tidak ada tuntunannya adalah shalat qabliyyah Jum’at (bukan qablal Jum’at) yang sama dengan qabliyyah Subuh, Dzuhur, Ashar dan lain-lain, yang dikerjakan sesudah adzan Jum’at (sesudah masuk waktu shalat).
Kedua, yang kami maksud dengan qablal Jum’at adalah shalat sunnah yang dikerjakan sebelum khatib naik mimbar (sebelum adzan). Dan ini bisa berupa shalat bakdal wudhu, shalat sunnah tahiyatul masjid, shalat sunnah mutlaq (ada yang menyebutnya shalatul intizar) yang bisa dikerjakan seberapa saja semampu kita, sesuai dengan Hadits Riwayat Muslim dari Abu Hurairah, sebagaimana yang disebutkan dalam HPT tentang shalat Jum’at, Hadits 31.
Ketiga, sebelum khatib naik mimbar, sesudah shalat tahiyatul masjid atau lainnya, boleh-boleh saja shalat Dhuha, sekiranya waktu masih memungkinkan.
Demikian untuk dapat dimaklumi.