Pertanyaan:
Kami mempelajari buku Tanya Jawab Agama Jilid III, Asuhan Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, pada halaman 12 tentang kata sayyidina di depan kata Muhammad, timbul pertanyaan kami sehubungan adanya hadis Nabi pada halaman 15 yang berbunyi:
السيّدالله (رواه أحمد و أبو داود)
Kalau dalam salat, tdak boleh menambah kata sayyidina di depan kata Muhammad, kami telah faham, tetapi kalau di luar salat bagaimana? Karena dalam al-Qur’an sendiri surah Ali Imran ayat 39 terdapat kata
سيِّدًا
Kami baca juga dalam bonus khutbah dari Suara Muhammadiyah No. 12 Th. Ke-81, tanggal 16-30 Juni 1996, halaman 13 juga terdapat hadis Nabi riwayat Muttafaq ‘alaih yang berbunyi:
والخادِمُ راعٍ فى مال سيِّده
(Matan hadis tidak kami tulis seluruhnya, di situ terdapat kata:
سيِّدِه
Mohon Penjelasan.
Satu hal yang kami tanyakan, kami punya teman warga Muhammadiyah yang sudah ber NBM terkena was-was dalam salat, sehingga dalam bertakhbiratul ihram tidak cukup satu kali, tetapi berulang-ulang. Kami sudah berusaha memberi nasehat, bahkan kami sampai minta bantuan Bp. Moh Zaed yang sering mengisi pengajian slapanan di desa kami, tetapi belum berhasil, masih tetap was-was. Mohon pengasuh rubrik Fatwa Agama bisa memberikan penjelasan lewat SM, karena dia sering membaca SM.
Soedjarwo, RT 03/RW II Desa Randu, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah
Jawaban:
Menambah, mengurangi, dan mengubah bacaan salat termasuk larangan dalam agama. Bacaan-bacaan atau doa-doa dalam ibadah termasuk bacaan -bacaan yang sudah ditentukan agama, oleh sebab itu menambah kata sayyidina pun di muka kata Muhammad dan Ibrahim termasuk yang tidak diperkenankan. Akan tetapi bacaan sayyidina di luar ibadah, di luar salat dan doa tidak termasuk yang di larang. As-Sayyid itu sebenarnya berarti: tuan atau pemimpin, sebagai penghormatan terhadap orang yang pantas dipanggil dengan sebutan itu.
Mengenai penyakit was-was dalam takbiratul ihram, biasanya dialami oleh orang yang berkeinginan agar niat dan takbirnya itu bersamaan. Hal itu terjadi bagi orang yang niatnya dilafazkan, maka bagaimana mungkin bisa dipelihara kesatuan antara melafazkan niat dan bertakbir. Tetapi yang patut diikuti ialah ikhlas niat dalam hati semata-mata melakukannya karena Allah, lalu bertakbir sesuai dengan tuntunan, niscaya was-was itu tidak akan terjadi. Saudara juga dapat baca dalam SM tahun 1996 pernah dimuat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan was-was.