Hukum Pertunangan Menurut Islam
Pertanyaan:
Bagaimanakah hukum pertunangan yang dilakukan sebelum pernikahan menurut agama Islam?
Pertanyaan Dari:
Sugiri, Klaten dan Sunardi, Billalang II
Jawaban:
Pertunangan merupakan salah satu proses perkawinan yang biasa dilakukan masyarakat. Di antara proses perkawinan itu ialah pihak laki-laki meminang pihak perempuan atau sebaliknya agar pihak perempuan atau pihak laki-laki bersedia menjadi isteri atau suaminya. Seandainya pinangan itu diterima, langsung dilaksanakan akad nikah. Proses lain melalui pertunangan, pihak laki-laki meminang pihak perempuan atau sebaliknya agar pihak perempuan atau pihak laki-laki bersedia menjadi isteri atau suaminya. Seandainya pinangan itu diterima, akad nikah tidak langsung diadakan, tetapi diadakan beberapa waktu setelah itu, mungkin diadakan dalam waktu yang tidak lama, seperti sebulan, dua bulan dan seterusnya atau dalam waktu yang lama, seperti setahun, dua tahun dan seterusnya. Masa yang terletak antara penerimaan pinangan dan masa pelaksanaan akad nikah disebut masa pertunangan. Dengan kata lain antara pihak laki-laki dan pihak perempuan telah terjadi pertunangan sebelum dilaksanakan akad nikah.
Menurut B. Ter Haar Bzn (1393) pertunangan merupakan suatu perjanjian yang dilakukan oleh pihak laki-laki dengan pihak perempuan untuk melakukan akad nikah di kemudian hari. Hampir tiap daerah di Indonesia mengenal lembaga pertunangan ini. Bila suatu pinangan telah diterima diadakan semacam alat pengikat atau tanda perjanjian pertunangan telah dilakukan. Alat pengikat itu bentuknya bermacam-macam ada berupa cincin, perhiasan tertentu, keris dan sebagainya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di daerah tersebut. Jika terjadi pemutusan pertunangan, maka pihak yang memutuskan dikenai sanksi tertentu, seperti mengembalikan pemberian yang pernah diberikan, membayar denda dan sebagainya. Dengan demikian hukum pertunangan telah menjadi hukum adat yang berlaku pada kebanyakan daerah di Indonesia. Syaikh Mahmud Syaltut (1950) menyatakan bahwa sebahagian besar suku bangsa di dunia mengenal lembaga pertunangan ini, termasuk suku-suku bangsa yang menganut agama Islam.
Persoalannya ialah, bagaimana sikap hukum Islam terhadap pertunangan tersebut?
Belum ditemukan nash-nash baik berupa nash al-Qur’an maupun berupa nash al-Hadits yang secara tegas membolehkan atau melarang lembaga pertunangan itu. Karena itu masalah pertunangan merupakan masalah ijtihadiyah. Untuk membahas masalah pertunangan ada tiga macam cara pendekatan yang dapat dilakukan. Pertama ialah dengan memahami sesuatu yang tersirat pada suatu hadits, kedua dengan memasukkan akad pertunangan ke dalam masalah akad pada umumnya dan ketiga ialah dengan menggunakan kaidah fiqh.
Pertama, dengan memahami isyarat atau yang tersirat pada suatu hadits Nabi saw :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يَخْطُبُ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأذَنَ لَهُ. [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a., ia berkata: bersabda Rasulullah saw: ‘Jangan salah seorang kamu meminang pinangan saudaranya, sehingga peminang sebelumnya (saudaranya itu) mengurungkan peminangannya atau membolehkannya (untuk dipinang).” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Hadits di atas membolehkan seorang laki-laki meminang pihak seorang perempuan. Dari hadits di atas juga dapat dipahami terjadinya beberapa kemungkinan penafsiran dalam proses pinang meminang. Kemungkinan pertama ialah pinangan itu tidak diterima oleh pihak yang dipinang, sehingga berakhirlah proses pinangan itu. Kemungkinan kedua ialah pinangan itu diterima, kemudian langsung dilaksanakan akad nikah. Kemungkinan ketiga ialah pinangan itu diterima, tetapi akad dilaksanakan kemudian hari, mungkin dalam waktu yang dekat dan mungkin pula dalam waktu yang lama. Kemungkinan ketiga ini ada persamaannya dengan pelaksanaan pertunangan yang berlaku pada hukum adat, yaitu semacam perjanjian untuk melaksanakan akad nikah di kemudian hari setelah pinangan diterima. Terjadinya kemungkinan ketiga ini dimungkinkan dalam memahami hadits di atas. Dengan arti bahwa hadits di atas dapat dijadikan satu dalil dalam menetapkan hukum pertunangan.
Kedua, dengan memasukkan akad pertunangan ke dalam masalah akad pada umumnya. Jika akad pada umumnya dibolehkan oleh syara’, tentu akad pertunangan juga dibolehkan. Allah swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ … [سورة المائدة (5): 1]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu, …” [QS. al-Maidah (5): 1]
Dan firman Allah swt:
… وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولاً. [سورة الإسرآء (17): 34]
Artinya: “… dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” [QS. al-Isra’ (17) : 34]
Hadits Nabi saw menerangkan bahwa mengadakan perjanjian yang ada kaitannya dengan akad nikah dibolehkan apalagi isi perjanjian itu dapat menyempurnakan suatu perkawinan.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوْطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ اْلفُرُوْجَ. [متفق عليه]
Agar ada kepastian hukum sebaiknya akad pertunangan itu dilengkapi dengan alat-alat bukti, seperti bukti-bukti otentik, saksi-saksi dan sebagainya, berdasarkan firman Allah swt:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ … وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ … [سورة البقرة (2): 282]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermu’amalah (melakukan perjanjian perikatan) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya, … dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu …” [QS. al-Baqarah (2): 282]
Ketiga, dengan menggunakan kaedah fiqh:
اَلْعَادَةُ مُحْكَمَةٌ.
Artinya: “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.”
B. Ter Haar Bzn dan Mahmud Syaltut menyatakan bahwa lembaga pertunangan merupakan hukum adat yang telah menjadi adat dari suku-suku bangsa di dunia dan lembaga ini merupakan lembaga yang menguatkan lembaga perkawinan. Sesuai dengan kaedah di atas maka lembaga pertunangan ini tidak dilarang oleh syara’. Bahkan kebanyakan ulama dapat menyetujuinya dan melaksanakannya. Pertunangan menjadi masalah jika terjadi pemutusan pertunangan dan telah terjadi saling memberi yang dilakukan pihak laki-laki atau pihak perempuan kepada pihak yang lain, sedang alat-alat bukti tidak ada. Seandainya dibuat alat-alat bukti pada saat diadakan perjanjian pertunangan maka persoalan yang terjadi pada waktu putusnya pertunangan dapat diselesaikan dengan merujuk kepada alat-alat bukti tersebut.
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No. 6, 2003