Sengketa Pembagian Harta Warisan
Pertanyaan:
Kami sembilan orang bersaudara kandung (empat orang laki-laki dan lima orang perempuan) mempunyai satu unit rumah peninggalan orang tua kami. Rumah tersebut terletak di atas tanah seluas 299 meter bujur sangkar. Sesuai kemufakatan kami sembilan orang, rumah warisan tersebut setuju untuk dijual dan hasilnya akan dibagi menurut ketentuan hukum Islam. Harga penawaran rumah dari pihak ketiga berkisar 60 sampai 70 juta rupiah.
Di antara kami, tujuh orang setuju dengan penawaran harga tersebut, karena memang itulah harga pasarannya di lokasi tanah/rumah tersebut, tetapi dua orang saudara laki-laki kami tidak setuju, tidak mau menandatangani surat pernyataan mau dijual kalau dengan harga itu dan mau menyetujuinya kalau dengan harga 100 juta. Salah satu dari dua orang saudara yang tidak menyetujui itu adalah yang menempati rumah warisan tersebut selama lebih sepuluh tahun secara gratis. Sebagian besar di antara kami adalah berekonomi lemah, namun demikian kami bertujuh tidak ingin bertengkar dan masalah ini jangan sampai diselesaikan lewat pengadilan. Ketika terakhir kalinya kami meminta agar saudara kami yang menempati rumah tersebut segera mencari rumah sewaan dan pindah dari rumah tersebut. Tetapi ia bersikeras tidak mau keluar dari rumah tersebut kalau tidak dijual dengan harga 100 juta, ia menyarankan agar dibagi persil-persil saja luas tanah tersebut, atau diselesaikan lewat pengadilan.
Selanjutnya yang ingin kami tanyakan: Pertama, bagaimana hukumnya kalau kami yang tujuh orang tidak mengizinkan saudara yang menempati rumah tersebut selama ini untuk menempatinya lagi. Soalnya kami pernah tanya kepada kepada seorang ustadz, dan ustadz tersebut memgatakan: “yang menempati rumah tersebut tak ubahnya sebagai duduk di atas bara api neraka, dan kalau salah seorang di antara ahli waris mengatakan jual, maka harta tersebut harus dijual”. Kedua, apakah mungkin tanah tersebut dibagi secara persil-persil dan bagaimana pula cara pembagian rumahnya. Kami mohon jawaban dan jalan keluarnya sesuai hukum Islam, karena saudara kami yang ingkar ini mengancam pemutusan silaturrahmi/persaudaraan, sedangkan kami yang tujuh orang lagi tidak ingin hal itu terjadi. Jawaban dari pengasuh Rubrik Fatwa Agama akan kami sampaikan juga kepada mereka berdua.
Nama dan alamat penanya dirahasiakan
Jawaban:
Permasalahan yang saudara hadapi memang cukup rumit, terutama ada ancaman pemutusan silaturahmi dari yang tidak setuju rumah tersebut dijual dengan harga yang saudara kemukakan sekalipun menurut saudara itu harga pasarannya. Atas persoalan tersebut kami kemukakan hal-hal sebagai berikut:
Petama: Status harta warisan tersebut adalah sebagai harta syirkah bagi saudara bersembilan. Oleh karena pemanfaatan harta tersebut harus atas dasar izin dan kerelaan semua pihak, sehingga penempatan rumah tersebut oleh salah seorang di antara saudara dengan tidak ada kerelaan dari anggota syarikat yang lain (saudara-saudara yang lainnya dan yang terbanyak) jelas-jelas sebagai perbuatan gasab, mengambil hak orang lain secara dzalim, ini adalah perbuatan haram.
Kedua, permasalahan permasalahan pembagian harta warisan tersebut memang sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan, secara musyawarah mufakat, karena hasil yang diperoleh secara musyawarah mufakat tidak ada pihak yang merasa dikalahkan, sehingga apabila persoalan tersebut diselesaikan lewat pengadilan, maka pihak yang dikalahkan akan merasa sakit, betapapun kecilnya kekalahan tersebut tetapi akan membekas dalam pribadi seseorang.
Ketiga, karena ahli waris semuanya adalah anak-anak dari pewaris dan terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka pembagiannya adalah bagi satu orang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Hal ini berdasarkan ketentuan surat an-Nisa’ ayat 11:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ (النساء: ١١)
Artinya: Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian harta warisan untuk) anak-anakmu, yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…
Atas dasar inilah maka harta warisan yang saudara terima harus dibagi menjadi 13 bagian dengan rincian 8 bagian untuk 4 orang anak laki-laki, masing-masing mendapat dua bagian, dan 5 bagian lagi untuk 5 orang anak perempuan, masing-masing mendapat 1 bagian. Seandainya rumah tersebut dijual laku 70 juta, maka seorang anak laki-laki mendapat bagian: 2 x Rp. 70.000.000 : 13= Rp. 10.769.230,77, sedangkan seorang anak perempuan mendapat bagian 1 x Rp. 70.000.000 : 13= Rp. 5.384.615,385.
Keempat, kalau harga penawaran rumah yang saudara kemukakan memang sudah harga pasaran, semestinya dua orang dari saudara anda setuju dengan harga tersebut. Kalau ingin dijual dengan harga di atas pasaran, mungkin lama untuk lakunya dan belum tentu ada pembelinya, sementara mayoritas ahli waris sangat memerlukan uang hasil penjualan harta warisan tersebut. Dalam pada itu apabila terdapat perbedaan mengenai soal harga, maka yang diikuti adalah harga yang berlaku di pasaran, qaidah fiqhiyyah menyebutkan:
الْعَادَةُ مُحْكَمَةٌ
Artinya: Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.
Qaidah lain yang menyebutkan:
الْمَعْرُوْفُ بَيْنَ التُّجَّارِ كَالْمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
Artinya: Sesuatu yang telah terkenal di kalangan pedagang seperti syarat yang berlaku bagi mereka.
Dalam konteks ini maka yang dimaksud dengan adat kebiasaan dan sesuatu yang sudah terkenal di kalangan pedagang dalam dua qaidah di atas adalah harga pasaran. Oleh karena itu semestinya dua orang saudara anda setuju/mau menjual dengan harga yang sudah pasaran tersebut. Seandainya ia tetap bertahan harus dengan harga Rp. 100.000.000, serahkan agar tanah dan rumah tersebut dibeli oleh dia.
Seandainya pembagian harta warisan itu dilakukan dengan cara membagi-bagi tanahnya, boleh-boleh saja. Akan tetapi secara ekonomi tidak menguntungkan, karena kalau tanah itu dipecah-pecah, maka seorang anak laki-laki hanya akan mendapat bagian 2 x 299 m : 13 = 46 m, sedang seorang anak perempuan bagiannya adalah 1 x 299 m : 13 = 23 m. Tanah yang hanya 46 m atau 23 m akan mempunyai nilai jual yang lebih rendah dibanding dengan harga semula, sebelum tanah tesebut dipecah-pecah.
Belum lagi akan muncul persoalan siapa yang berhak mendapat bagian di bagian belakang, siapa yang mendapat bagian di bagian depan. Untuk membagi rumah secara dipecah-pecah akan lebih sulit lagi, karena bagian-bagian dari rumah itu belum tentu nilainya sama, dan kalau sudah dipecah-pecah seperti itu apakah rumah tersebut akan laku dijual? Atas dasar ini sebaiknya tanah dan rumah tersebut dijual dan yang membelinya adalah salah seorang dari ahli waris, kemudian hasil penjualannya dibagi menurut ketentuan hukum waris Islam.
Kelima, bahwa memutuskan silaturahmi, memutuskan hubungan kekeluargaan adalah perbuatan dosa. Orang yang memutuskan hubungan persaudaraan diancam tidak akan masuk surga, hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits nabi riwayat at-Turmudzi dari Jubair bin Mut’im dari ayahnya, bahwa Nabi saw bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ (رواه الترمذى)
Artinya: Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan (silaturahmi).
Oleh karena itu persoalan yang berkaitan dengan harta warisan jangan sampai berakibat memutuskan hubungan persaudaraan, apalagi sesama saudara kandung.