Hukum Shalat Jumat Bukan di Masjid Pada Masa Pandemi Covid-19
Di masa pandemi ini, penyelenggaraan salat di masjid diharuskan memenuhi protokol kesehatan yang ketat, di antaranya adalah mengatur jarak saf. Hal itu mengakibatkan daya tampung masjid berkurang. Timbul pertanyaan di masyarakat, bolehkah mengerjakan salat Jumat di luar masjid atau di lokasi lain selain masjid?
Pada prinsipnya salat Jumat idealnya dikerjakan di masjid. Namun demikian, apabila ada keperluan yang mendesak maka salat Jumat dapat dilaksanakan tidak hanya di masjid, tetapi boleh di lokasi lain, seperti di musala, langgar, tanah lapang, halaman, gedung pertemuan, rumah, ruangan kosong yang telah dipersiapkan untuk tempat ibadah atau tempat-tempat luas lain yang layak. Hal ini didasari oleh beberapa alasan. Pertama, lafal perintah salat Jumat yang bersifat umum tanpa mensyaratkan salat hanya di satu tempat. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Jumu’ah (62) ayat 9,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ .
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Kedua, pengertian dari kata “masjid” yang secara etimologi memiliki arti tempat sujud. Dengan demikian, kata “masjid” pada hakikatnya tidak terbatas pada masjid yang berupa bangunan yang khusus untuk salat semata, tetapi di tempat manapun yang dapat dilakukan salat (sujud) maka dapat difungsikan sebagai masjid. Dalam sebuah hadis disebutkan,
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْحَمَّامَ وَالْمَقْبَرَةَ ]رواه الحاكم.[
Dari Abī Sa’īd al-Khudrī (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Bumi ini semuanya merupakan masjid (tempat sujud untuk salat) kecuali jamban dan kuburan [HR. al-Ḥākim].
Ketiga, perluasan makna atas lafal “masjid” di atas diperkuat oleh perbuatan sahabat Muṣ’ab bin ‘Umair tatkala menjadi utusan Rasulullah ke Madinah setelah Baiʻat al-‘Aqabah. Dalam keterangan yang dinukilkan oleh Ibnu Sa’ad dalam kitabnya Ṭabaqāt al-Kubrā, disebutkan Muṣ‘ab pernah mendirikan salat Jumat berjemaah di rumah Sa‘ad bin Khaiṡamah,
… فَكَتَبَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْذِنُهُ أَنْ يُجَمِّعَ بِهِمْ. فَأَذِنَ لَهُ وَكَتَبَ إِلَيْهِ: انْظُرْ مِنَ الْيَوْمِ الَّذِي يَجْهَرُ فِيهِ الْيَهُودُ لِسَبْتِهِمْ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فَازْدَلِفْ إِلَى اللَّهِ فِيهِ بِرَكْعَتَيْنِ وَاخْطُبْ فِيهِمْ. فَجَمَّعَ بِهِمْ مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ فِي دَارِ سَعْدِ بْنِ خَيْثَمَةَ وَهُمُ اثْنَا عَشَرَ رَجُلا. فَهُوَ أَوَّلُ مَنْ جَمَّعَ فِي الإِسْلامِ جُمُعَةً .
…Muṣ‘ab kemudian menuliskan surat kepada Rasulullah untuk meminta izin kepada beliau agar bisa mengumpulkan kaum Anshar yang telah masuk Islam untuk mendirikan salat. Rasulullah pun mengizinkannya dan menuliskan perintah untuk Muṣ‘ab: cermatilah bagaimana persiapan kaum Yahudi untuk beribadah Sabat. Tatkala matahari tergelincir (masuk waktu zuhur) bersegeralah engkau menunaikan salat Jumat menghadap Allah dan berkhutbahlah. Maka Muṣ‘ab mengumpulkan para kaum Anshar di rumah Sa‘ad bin Khaitsamah sebanyak dua belas orang dan itulah salat Jumat pertama kali yang didirikan di Madinah [Ibn Saʻad, III: 110].
Keempat, salat Jumat yang dilaksanakan di masjid dalam keadaan seperti sekarang ini dapat menimbulkan kesulitan karena dituntut adanya pengetatan protokol kesehatan, antara lain pembatasan jumlah jemaah akibat dari perenggangan saf. Sementara itu, salah satu sifat agama Islam adalah selalu menghindarkan dari kesulitan dan kesempitan. Dalam surah al-Hajj (22) ayat 78 disebutkan,
… وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ …
…Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…
Tercatat dalam sejarah bahwa memindahkan lokasi salat hakikatnya pernah diperbolehkan oleh Rasulullah kepada seorang sahabat bernama ‘Itbān yang meminta izin khusus kepada Nabi saw untuk menjadi imam di rumahnya. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī,
عن عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ الأَنْصارِيَّ، ثُمَّ أَحَدَ بَنِي سَالِمٍ، قَالَ: كُنْتُ أُصَلِّي لِقَوْمِي بَنِي سَالِمٍ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: إِنِّي أَنْكَرْتُ بَصَرِي، وَإِنَّ السُّيُولَ تَحُولُ بَيْنِي وَبَيْنَ مَسْجِدِ قَوْمِي، فَلَوَدِدْتُ أَنَّكَ جِئْتَ، فَصَلَّيْتَ فِي بَيْتِي مَكَانًا حَتَّى أَتَّخِذَهُ مَسْجِدًا، فَقَالَ أَفْعَلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَغَدَا عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ مَعَهُ بَعْدَ مَا اشْتَدَّ النَّهَارُ، فَاسْتَأْذَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَذِنْتُ لَهُ، فَلَمْ يَجْلِسْ حَتَّى قَالَ: أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ مِنْ بَيْتِكَ؟، فَأَشَارَ إِلَيْهِ مِنَ المَكَانِ الَّذِي أَحَبَّ أَنْ يُصَلِّيَ فِيهِ، فَقَامَ، فَصَفَفْنَا خَلْفَهُ، ثُمَّ سَلَّمَ وَسَلَّمْنَا حِينَ سَلَّمَ ]رواه البخاري.[
Dari ‘Itbān bin Mālik al-Anṣārī, dia berkata, saya menjadi imam salat kaum saya, Banī Sālim. Lalu saya temui Nabi saw, saya tanyakan kepada beliau, saya tidak bisa terima penglihatan saya, sementara banjir menghalangi rumah saya dengan masjid kaum saya, sungguh saya ingin sekali engkau datang ke rumah saya, engkau tunaikan salat di rumah saya di tempat yang akan saya jadikan sebagai masjid. Nabi saw menjawab, insya Allah saya datang. Pagi menjelang siang yang memanas Nabi saw bersama Abu Bakar menemui saya. Nabi saw mohon izin masuk dan saya berikan izin. Beliau tidak duduk sampai berkata, di mana engkau ingin saya tunaikan salat di rumahmu? Kepada beliau saya tunjukkan tempat yang saya ingin beliau salat. Lalu Rasulullah saw berdiri untuk salat. Kami berbaris di belakangnya. Beliau tutup salat dengan salam. Kami pun membaca salam [HR. al-Bukhārī].
Berdasarkan hadis di atas, dapat diketahui bahwa alasan ‘Itbān meminta keringanan adalah karena adanya kesulitan yaitu gangguan mata dan adanya hujan yang menyebabkan banjir. Sementara ancaman pandemi Covid-19 tidak lebih ringan daripada alasan yang dikemukakan oleh ‘Itbān dan direstui oleh Rasulullah saw.
Dengan demikian, menambah lokasi pelaksanaan salat Jumat di selain masjid seperti musala, langgar, tanah lapang, halaman, gedung pertemuan, rumah, ruangan kosong yang telah dipersiapkan untuk tempat ibadah atau tempat-tempat luas lain merupakan hal yang diperbolehkan dikarenakan adanya kemaslahatan (al-ḥājah) yang menuntutnya dan adanya masyaqqah melaksanakannya di tempat terpadu yang biasa dilakukan.
Ketika tingkat bahaya pandemi Covid-19 ini telah dinyatakan mengalami penurunan di beberapa daerah oleh pihak yang memiliki otoritas, maka kegiatan ibadah berjemaah pun dapat dilakukan kembali meskipun dengan menerapkan serangkaian protokol kesehatan yang ketat sebagai bentuk kehati-hatian dan tetap berupaya mencegah penyebaran wabah Covid-19. Hal ini selaras dengan kaidah-kaidah fikih,
الضَّرُوْرَةُ تُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
Kemudaratan dibatasi sesuai dengan kadarnya [Al-Asybāh wa al-Naẓā’ir oleh al-Suyūṭī, h. 84].
إِذَا ضَاقَ الْأَمْرُ اتَّسَعَ وَإِذَا اتَّسَعَ ضَاقَ
Segala sesuatu, jika sempit maka menjadi luas, dan jika (kembali) luas maka menjadi sempit [Muḥammad az-Zuḥailī, al-Qawāʻid al-Fiqhiyyah, I: 272].
اَلْأَمْرُ إِذَا تَجَاوَزَ عَنْ حَدِّهِ اِنْعَكَسَ اِلَى ضِدِّهِ
Segala sesuatu apabila melampui batas, maka hukumnya berbalik pada sebaliknya [Al-Asybāh wa al-Naẓā’ir oleh al-Nu’mān, h. 72].
Sumber: Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 05/I.0/E/2020 Tentang Tuntunan Ibadah (Lanjutan) Pada Masa Pandemi Covid-19