Hukum Bekerja Sebagai PNS di Bea Cukai dan Pajak
Pertanyaan:
Assalamu‘alaikum wr. wb.
Redaksi Fatwa Tarjih yang dirahmati Allah swt, saya ingin mengajukan pertanyaan:
- Benarkah bekerja sebagai PNS di bea cukai dan pajak itu haram?
- Benarkah tidak ada kewajiban dalam harta selain zakat untuk muslim?
- Apa yang dimaksud dengan mukus itu?
Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Pertanyaan Dari:
MH Fathony, [email protected]
(disidangkan pada Jum’at, 27 Jumadal Ula 1438 H / 24 Februari 2017)
Jawaban:
Wa‘alaikumsalam wr. wb.
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Jawaban untuk tiga pertanyaan saudara akan kami himpun dalam satu ulasan karena ketiganya saling berkaitan.
Sebelum menjawab pertanyaan saudara, perlu diketahui lebih dahulu pengertian tentang pajak dan bea cukai. Pajak adalah suatu kebijakan pemerintah berupa penarikan sebagian harta dari benda atau aset yang dimiliki masyarakat untuk kebutuhan pembangunan negara. Sedangkan bea cukai adalah pajak yang dikenakan pada barang yang diekspor maupun impor dan barang konsumsi.
Pemberlakuan pajak dan bea cukai mencakup segala hal yang memiliki nilai, sehingga cakupannya tidak hanya sebatas pada objek yang halal namun juga tidak menutup kemungkinan pada objek yang haram, seperti perjudian, minuman keras, diskotik, dan lain-lain. Hal itu menyebabkan hasil pemungutan pajak dan cukai adalah syubhat (samar) karena bercampurnya objek pajak dan bea cukai yang halal dan haram, sungguh pun mungkin yang haram jumlahnya tidak lebih besar dari yang halal. Ini artinya tidak semua uang Negara berasal dari yang haram.
Namun demikian negara dapat dibenarkan mewajibkan rakyatnya yang sudah dianggap cukup syarat untuk membayar pajak. Hal ini karena kebutuhan negara tidak dapat tercukupi dengan mengandalkan pemasukan nonpajak. Oleh sebab itu kebijakan mewajibkan pajak mesti diambil, karena jika tidak maka sudah barang tentu negara tidak akan mampu memenuhi kebutuhannya. Jadi apa yang dilakukan negara dengan mewajibkan pajak harus dipahami dan dibaca dalam konteks kondisi darurat, di mana kondisi darurat itu bisa membolehkan sesuatu yang dilarang sebagaimana ditegaskan dalam salah satu kaidah fiqih berikut ini:
الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ
“Bahwa kondisi darurat itu dapat memperbolehkan hal-hal yang dilarang.”
Berangkat dari penjelasan di atas, maka bekerja pada kantor perpajakan dan bea cukai adalah diperbolehkan. Karenanya, gaji yang diterima pegawainya adalah halal. Sebab, pemungutan pajak dalam kondisi yang telah kami kemukakan adalah dibenarkan. Lain halnya apabila kebutuhan negara dapat dipenuhi dengan pendapatan lain nonpajak.
Adapun hal yang tidak diperbolehkan adalah apabila orang yang bekerja melakukan penyimpangan dan melanggar aturan agama maupun negara, seperti menerima suap, melakukan pungutan liar, dan lain sebagainya. Hal tersebut termasuk mukus sebagaimana pengertian yang diutarakan oleh Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim (juz 11 halaman 343 bab had zina, Darul Manar, 1998 M) yaitu, suatu tindakan berupa pemungutan sebagian harta dari manusia tanpa hak (secara zhalim). Orang yang melakukan mukus diancam dengan azab yang keras sebagaimana dalam hadis:
عَرَضَ مَسْلَمَةُ بْنُ مُخَلَّدٍ وَكَانَ -أَمِيرًا عَلَى مِصْرَ -عَلَى رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُورَ فَقَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِي النَّارِ [رواه أحمد].
“Maslamah bin Mukhalld -gubernur Mesir- menawarkan tugas kepada Ruwaifi’ bin Tsabit untuk menarik pajak. Kemudian ia berkata, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya pemungut mukus dimasukkan neraka” [HR. Ahmad nomor 16553].
Dalam Islam, zakat adalah satu-satunya kewajiban terhadap harta yang harus dibayarkan. Akan tetapi, kaitannya dengan pembangunan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, ketika hasil zakat tidak mencukupi untuk pembiayaan dan pembangunan negara, maka diberlakukan pajak sebagai sumber pendapatan negara. Pemerintah boleh menarik pajak dan cukai sepanjang pajak dan cukai memberikan maslahat bagi rakyat. Dalam kaidah fikih disebutkan:
تَصَرُّفُ الْأِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Tindakan Pemimpin terhadap rakyat terkait dengan kemaslahatan”
Demikian jawaban dari kami, semoga memberikan manfaat.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Hal yg bersifat darurat tentunya terbatas pada kondisi yg menyebabkan kondisi darurat tsb masih ada. Kenyataannya banyak negara kaya termasuk negara Islam yg tetap memberlakukan pungutan pajak. Bahkan pajak menjadi sumber utama pemasukan negara.
Jadi, pada kondisi seperti apa suatu pungutan pajak menjadi haram? Bisakah dijelaskan lebih spesifik?
Apakah kondisi di negara kita sudah masuk katagori darurat Ustadz? Sedangkan sumber daya alam kita dijual ke negara lain secara murah (mentah, bahkan tidak sampai menjual sda mentah karena rela diambil dengan kontrak bayaran yang sangat murah (bila dibandingkan dengan nilainya)). Alih-alih berusaha memudahkan petani lokal untuk maju, mandiri dan berkembang malah banyak bahan pangan yang diimport dari negara yang justru tidak lebih baik kondisi alamnya. Tidak terlihat etikat keterpaksaan dalam pemungutan pajak dari pemerintah, yang tercermin dari kurangnya usaha memandirikan pemerintah sendiri untuk bergantung dari keringat rakyat. Bahkan seolah-olah memaksakan diri untuk mencari celah untuk bisa lebih banyak lagi menghisap uang rakyat. Hal-hal remeh seperti makan saja diambil pajak, gaji yang merupakan hak dari jirih payah bekerja pun tak luput dari pungutan pajak. Yang paling memilukan, rakyat yang dari golongan fakir & miskin pun tak luput dari yang namanya pajak. Mungkin kalau kita termasuk rakyat yang mengalami kondisi kekurang mampuan tersebut baru bisa memahami betapa semena-menanya para pemungut pajak tersebut dalam mengambil uang rakyat.