Kedudukan Hadis Mengenai Undangan Menghadiri Khitanan
Pertanyaan:
Bagaimana kedudukan riwayat mengenai menghadiri undangan khitanan berikut ini:… … … Kepada pengasuh Fatwa Agama saya mohon penjelasan terperinci. Kemudian atas perhatiannya diucapkan terimakasih.
Fajrul, Santri Pondok Pesantren Muhammadiyah Sragen
Jawaban:
Terimakasih kepada Saudara Fajrul atas pertanyaannya. Hanya saja pertanyaan saudara banyak dan panjang pula, maka untuk kali ini akan dijawab pertanyaan terakhir saja, yang dikutip di atas.
Hadis yang ditanyakan secara lengkap adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ الْحَرَّانِيُّ، عَنْ ابْنِ إِسْحَاقَ يَعْنِي مُحَمَّدًا، عَنْ عُبَيِدِ اللَّهِ، أَوْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ طَلْحَةَ بْنِ كَرِيزٍ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: دُعِيَ عُثْمَانُ بْنُ أَبِي الْعَاصِ إِلَى خِتَانٍ، فَأَبَى أَنْ يُجِيبَ، فَقِيلَ لَهُ، فَقَالَ: «إِنَّا كُنَّا لَا نَأْتِي الْخِتَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نُدْعَى لَهُ (رواه أحمد في مسنده ج ٤: ٢١٧ , طبعة المكتب الإسلامي ودار صادر, بيروت)
Artinya: “Telah melaporkan kepada kami Muhammad bin Salamah al-Harrani dari Ibnu Ishaq, yaitu Muhammad, dari Ubaidillah atu Ubaidillah bin Talhah bin Kariz, dari al-Hasan (yang) mengatakan bahwa Utsman bin Abi al-’Ash pernah diundang ke acara khitanan, tetapi ia menolak untuk memenuhi undangan itu. Lalu ditanyakan alasannya. Ia menjawab, kami tidak pernah diundang di acara itu”. (HR. Ahmad, Musnad, IV:217).
Untuk menentukan bagaimana kedudukan hadis di atas, maka setidaknya ada dua hal yang haus dikaji dalam hadis ini. Pertama, kita harus mempelajari terlebih dahulu apa sanadnya sahih atau tidak, dan kedua, apakah pernyataan Usman bin Abi al-’Ash bahwa mereka tidak pernah menghadiri khitanan itu dapat dianggap sebagai hadis Nabi?
Sebelum mebicarakan dua hal tersebut perlu dijelaskan bahwa hadis terdiri dari dua bagian, yaitu sanad dan matan. secara harfiah sanad berati sandaran, sedangkan dalam ilmu hadis sanad diartikan serangkaian orang-orang yang menghubungkan mukharij (penghimpun hadis, sperti Bukhari) kepada Nabi Muhammad saw dan melaluinya hadis Nabi itu sampai kepada mukharij. Matan adalah materi atau isi hadis yang disampaikan melalui sanad itu. Sanad dapat dikatakan merupakan unsur tau rukun hadis, dalam artin tidak ada hads tanpa sanad; hadis yang tanpa sanad bukanlah hadis. Tetapi dalam kutipan-kutipan, sanad itu biasanya tidak disebutkan untuk keringkasan saja, dan tidak disebutkan itu tidak selalu berarti sanad tidak ada.
Untuk menentukan kesahihan suatu hadis haruslah diteliti matan dan sanadnya. Penelitian harus dimulai dari penelitian sanad, karena kalau sudah terbukti sanadnya da’if berarti hadis itu secara otomatis hadis itu dinyatakan da’if dan tidak perlu lagi dikaji matannya. Apabila sanadnya sahih, maka belum tentu hadis itu sahih karena harus dikaji matannya. Oleh sebab itu setelah mengkaji sanad, maka kajian dilanjutkan terhadap matannya. Kalau yang diteliti baru sanadnya dan ternyata sahih, sedang matannya belum diteliti, maka dikatana hadis sahih sanadnya. Bila kita menemukan dalam literatur hadis penyataan bahwa suatu hadis sahih sanadnya, maka berarti hadis tersebut baru sanadnya yang diteliti dan belum diteliti matannya. Karena belum tentu sahih.
Krtiteria kesahihan sanad itu ada lima: (1) sanadnya bersambung, (2) perawinya adil, (3) perawinya dabit, (4) tidak mengandung cacat yang tersembunyi, (5) tidak mengandung kejanggalan (syuzuz). Dua syarat akhir berkaitan juga dengan matannya. Kriteria kesahihan matan meliputi (1) tidak bertentangan dengan al-Qur’an, (2) tidak bertentangan dengan hadis-hadis lain yang sahih, (3) tidak bertentangan dengan akal dan pengalaman, dan (4) tidak bertentangan dengan fakta sejarah. (Salahuddin al-Idlibi, Manhaj Naqd al-Matn inda Ulam al-Hadits).
Untuk meneliti kesahihan sanad, kita harus meneliti (1) biografi para perawi yang membentuk sanad hadis untuk mengetahui siapa dan bagaimana reliabilitasnya di dalam periwayatan hadis, (2)bkita juga harus meneliti siapa guru dan murid perawi tersebut di dalam bidang hadis, (3) kita juga harus meneliti rutbah (derajat) dan kredibilitas para perawi melalui Jarh dan ta’dil. Untuk kepentingan peneliian ini para ahli hadis sejak periode dini dalam sejarah Islam telah menyusun biografi para perawi hadis yang dikenal dengan kutub rijal al-Hadis. Literatur mengenai ini banyak jenisnya: ada yang khusu mengenai biografi sahabat Nabi saja, ada yang mengenai perawi-perawi da’if saja, ada yang khusus mengenai perawi-perawi terpercaya saja, di samping ada yang berupa karya ensiklopedis yang meliputi seluruh perawi dan berisi berbagai aspek kehidupan mereka. Untuk penelitian hadis di atas disini akan digunakan kitab Tahzib al-kamal fi Asma’ ar-rijal (22 jilid besar) karya sl-Hafiz Jamaluddin al-Mizzi (742 H) dan dari kitab-kitab lain.
Hadis yang dinyatakan di atas adalah riwayat Imam Ahmad, ulama hadis dan ahli fikih terkenal, lahir di Bagdad 164 H dan meninggal di kota yang sama 241 H. Para perawi yang membentuk sanad hadis yang menghubungkan Ahmad kepada Nabi adalah Muhammad bin Salamah, Ibn Ishak, ‘Ubadullah al-hasan dan Usman.
- Muhammad bin Salamah, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Salamah bin Abdullah al-Harrani, termasuk generasi Tabi’ut Tabi’in kecil, tinggal di al-Jazirah, meninggal tahun 191 H, dan di antara orang dari siap ia menerima hadis adalah Abu Ishak al-Farazi, Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ishak dan perawi yang menerima hadis daripadanya adalah Ahmad bin Bakr al-Harrani dan Ahmad bin Hanbal. Para ulama kritikus sanad menilainya sebagai seorang perawi reliabel dan terpercaya (tsiqah) dan ditempatkan pada peringkat ke tiga dala ta’dil. [Mizzi, vii:318].
- Ibnu Ishaq, yaitu Muhammad bin Ishaq, penyusun biografi Nabi terkenal dan kirtab al-Maghazi itu, kakeknya yasar bin Khiyar adalah seorang tawanan perang ‘Ain at-Tamar di Irak dan dibawa ke Madinah. Ibnu Ishaq termasuk generasi Tabi’in kecil, tinggal di Madinah dan meninggal tahun 150 H di bagdad, meriwayatkan hadis dari sejumlah banyak guru di antaranya Aban bin Salih dan Ubaidullah dan murid yang meriwayatkan hadisnya antara lain yahya bin Wadih, Muhammad bin Salamah dan lain-lain. Para ahli hadis menilainya sebagai perawi yang sedang-sedang saja ada juga yang mengatakan terpercaya, tetapi ia mudallis, dinyatakan penganut paham Qadariah dan paham Syiah. Ia ditempatkan pada peringkat ke lima dalam ta’dil.
- ‘Ubaidullah, nama lengkapnya adalah ‘Ubaidullah bin Thalhah bin ‘Ubaidullah bin Kariz al-Khuza’i, tidak pernah bertemu sahabat Nabi, meriwayatkan hadis dari Muhammad bin Ali Hasyimidan al-Hasan al-Basri, dan perawi yang menerima hadis daripadanya adalah Hibban bin Yasar, Hammad bin Zaid, Muhammad bin Ishaq dan lain-lain. Ibnu Hibban menulis buku khusus tentang perawi-perawi hadis yang terpercaya mencantumkan ‘Ubaidullah dalam buku tersebut [Ibnu Hibban, as-siqat, xii:203-204]. Sesungguhnya ia merupakan perawi yang hanya dikenal mempunyai sedikit hadis, namun tidak terdapat hal-hal yang menyebabkan hadisnya ditinggalkan dan ia ditempatkan pada peringkat maqbul, yaitu peringkat ke enam, suatu peringkat dimana perawi tersebut tidak dianggap hujjah hadisnya apabila ia menyendiri dan tidak ada tabi’nya.
- Al-Hasan adalah al-Hasan al-Basri, seorang ulama Basrah dari generasi Tabi’in yang terkenal, bermukim dan meninggal di Basrah bulan Rajabtahun 110 H dalam usia 88 tahun. Ia meriwayatkan hadis dari sejumlah sahabat Nabi, di antaranya Ubai bin Ka’ab tetapi tidak pernah bertemu dengannya, Usmn bin Affan, dan Usman bin Abi al-Ash tetapi ada yang menyatakan bahwa Hasan tidak pernah mendengar dari Usman. Para perawi yang menerima hadis daripadanya di antaranya adalah Khalid bin Mahra, Syurahbil, ‘Ubaidullah dan lain-lain. Para ulama menilainta tabi’i yang saleh, terpercaya, akan tetapi ia juga seorang mudallis. Ia ditempatkan pada derajat ketiga dalam peringkat ahli hadis. [Ibnu Hajar, Tahzib at-Tahzib, ii:235-236]
- Usman, nama lengkapnya adalah Usman bin Abi al-Ash as-Saqafi, seorang sahabat Nabi, masuk Islam ketika menghadap Nabi bersama utusan utusan suku Saqif, pernah diangkat Nabi menjadi walikota Taif dan dilanjutkan di masa Abu Bakar dan Umar. Ibunya menyatakan: Saya menyaksikan Aminah ketika melahirkan Rasulullah. Usman meninggal tahun 51 H. Ia meriwayatkan hadis dari Nabi dan perawi-perawi yang menerima hadis daripadanya antara lain adalah Sa’id bin al-Musayyab, Abd Rabbihi bin al-Hakam, al-Hasan al-Basri dan lain-lain. Kaidah jarh dan ta’dil untuk para sahabat Nabi di dalam ilmu hadis Sunni adalah as-Sahabatu kulluhum udul (para sahabat itu seluruhnya adil), dalam pengertian reliabilitas mereka tidak dipertanyakan lagi, mereka adalah puncak keadilan dan keterpercayaan tertinggi dalam hadis.
Dari uraian di atas tadi terlihat bahwa para perawi memang tidak ada yang cacat (majruh), namun peringkat sebagian mereka rendah, yaitu ada yang masuk peringkat kelima dan ada yang masuk peringkat keenam (yaitu maqbul), suatu peringkat yang berbatasan dengan jarh dan hadis yang perawinya pada tingkat itu hanya bisa dijadikan hujjah kalau ada tabi’nya dan sejauh ini tidak ditemukan. Hadis ini juga tidak mempunyai syahid, yaitu hadis lain serupa yang diriwayatkan oleh orang lain. Hanya Ahmad sendiri di antara ahli hadis sembilan yang meriwayatkannya dan dengan sanada gharib. Oleh sebab itu terdapat beberapa hal yang meragukan mengenai hadis ini, sehingga sulit untuk dikatakan sebagai hadis sahih, bahkan hadis hasan. Haruslah diakui bahwa penilaina terhadap otentitas hadis tidaklah bersifat pasti.
Adapun mengenai isi hadis ini memang perlu dikonfrontir dengan hadis-hadis sahih yang secara tegas mewajibkan mendatangi undangan. Hal ini dikemukakan di akhir uraian ini ketika menjelaskan hukum yang dapat diistinbat dari hadis ini.
Masalah kedua yang perlu klarifikasi dalam hadis di atas adalah formula pernyataan hadis, maksudnya rumusan yang digunakan oleh sahabt Nabi sebagai sumber pertama hadis. Hadis pada dasarnya adalah suatu laporan sekitar Nabi baik mengenai perkataan, perbuatan maupun persetujuannya dan dinamakan hadis marfu’. Akan etapi kdang-kadang hadis itu juga berupa laporan tentang perkataan dan perbuatan sahabat yang dinamakan hadis mauquf. Yang menjadi hujjah agama adalah hadis marfu’. Para sahabat Nabi merupakan unsur penting dalam periwayatan hadis karena merekalah sumber pertama yang melaporkan hadis itu. Di dalam melaporkan hadis adakalanya para sahabat itu menggunakan ungkapan yang jelas merujuk kepada hadis mauquf. Namun kadang-kadang tidak jarang mereka menggunakan ungkapan yang tidak jelas apakah menunjukkan kepada hadis marfu’ atau kepada hadis mauquf, sehingga memunculkan permasalahan.
Ungkapan yang menunjukkan secara jelas kepada hadis marfu’ misalnya pernyataan seorang sahabat “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda….” atau “Saya melihat Rasulullah melakukan….” dan semacam itu.
Para ahli hadis mengklasifikasi formula ungkapan tidak secarategas menyatakan hadis marfu’ (hadis Nabi) ini menadi tiga macam:
- Para sahabat menyatakan “Kunna nu’maru bi…” (Kami mengatakan…) atau “Kunna naf’alu/la naf’alu…” (Kami melakukan/tidak melakukan…) contohnya adalah hadis yang dinyatakan di atas di mana sahabat Usman bin Abi al-Ash menyatakan “Kami tidak mendatangi khitan…”
- Para sahabat menyatakan “Kunna nu’maru bi...” (Kami diperintahkan untuk…), “Nubina ‘an…” (Kami datang untuk…), atau “Minas-Sunnah…” (Termasuk Sunnah adalah…). Pernyatan-pernyataan ini tidak secara tegas menyebutkan siapa yang memerintahkan atau melarang, atau dalam formula terakhir tidak secara tegas menyatakan sunah siapa, apakah sunah Nabi atau sunah sahabat.
- Ketika menyebutkan nama seorang sahabat, perawi menyatakan sahabat tesebut memarfu’kan hadis bersangkutan.
Dalam uraian berikut tidak akan dijelaskan kasus kedua dan ketiga. Yang akan dijelaskan hanya kasus pertama karena berkaitan dengan hadis yang ditanyakan. Di dalam ilmu hadis telah disepakati bahwa apabila sahabat menggunakan ungkapan “Kami mengatakan atau melakukan/tidak melakukan…” tanpa menyebutkan “pada masa Nabi” atau tanpa menghubungkannya ke masa Nabi, maka haids tersebut dinyatakan mauquf, hadis yang besumber kepada sahabat, bukan hadis Nabi dan kerenanya tidak menjadi hujjah. Dalam kaidah tarjih dinyatakan al-mauquf al-mujarrad la yuhtajju bihi (Hadis mauquf murni tidak dapat menjadi hujjah). HPT, h. 300 tentang ushul fikih.
Akan tetapi apabila sahabat menghubungkannya ke zaman Nabi dengan mengatakan, misalnya “Kami melakukan/tidak melakukan… Pada zaman Nabi” disini terjadi perbedaan pendapat. Imam Isma’ili (277-371 H), toko utama sayafi’iyah di Jurjan, ahli hadis dan fikih seta penyusun sejumlah kitab antara lain al-Mustakhraj ala al-nukhari, menyatakan bahwa hadis demikian adalah hadis mauquf. [As-Sayuti, Tadrib ar-Rawi, 1:186]. Akan tetapi kebanyakan ahli hadis dan ahli fikih menyatakan hadis semacam itu sebagai hadis marfu’. Ibnu as-Salah (w. 643) menyatakan bahwa pandangan ini yang menjadi pegangan karena pernyataan Nabi yang menunjukkan bahwa Rasulullah mengetahuinya dan menyetujuinya secara diam-diam dan persetujuan secara diam-diam itu merupakan salah satu bentuk sunnah yang marfu’. [As-San’ani, Taudih al-Afkar, 1:273].
Kaidah tarjih dalam HPT (h. 300) menyatakan (1) Al-Mauquf al-jazi fi bukmil-marfu’ yuhtajju bihi (hadis mauquf yang dinyatakan sebagai marfu’ dan dapat dijadikan hujjah), dan (2) al-mauquf yakumu fi bukmil marfu’iza kana fihi qarinatun yufhamu minha raf’uhu ila-nabiyyi saw, kaqauli ummi ‘Atiyyah “kunna nu’maru an nukhrija fil-’id al-huyyad (al hadits) wa nahwuh (Hadis mauquf dinyatakan sebagai hadis marfu’ apabila terdapat indikasi berdasarkan mana dapat dipahami bahwa hadis itu marfu’ kepada Nabi saw, seperti kata Ummi ‘Atiyyah, “Kami diperintahkan supaya mengajak keluar pada Hari Raya ‘Id wanita-wanita sedang haid… [hadis], dan contoh-contoh lain).
Meskipun dalam kaidah (2) hanya disebutkan contoh perkataan sahabat “Kami diperintahkan…”, namun keumuman kaidah-kaidah tersebut dapatlah kiranya mencakup pernyataan sahabat “Kami melakukan/tidak melakukan… Pada masa Nabi”. Dengan demikian berdasarkan kaidah ini hadis yang ditanyakan statusnya di atas kiranya dapatlah dinyatakan sebagai sebuha hadis marfu’, namun sanadnya masih meragukan.
Mengenai hukum yang berkaitan dengan hadis ini dapat dikonfrontir dengan beberapa hadis lain.
Sabda Nabi
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ، فَلْيُجِبْ، فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ، وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ
(رواه مسلم فى النكاح من صحيحه, رقم. , ١٤٣ وأبو داود في الأطعمة,
رقم. ۲۷۳, وأحمد في باقي مسند المكثرين, رقم. ,٦٧٨ ١٤)
Artinya: “apabila seseorang kamu diundang ke suatu pesta makan, hendaklah ia memenuhinya. Jika ia senang silahkan makan dan jika tidak silahkan tidak makan”. ((HR. Muslim, Abu Daud dan Ahmad).
Artinya : Apabila seseorang kamu diundang ke walimah hendaklah ia mendatanginya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Artinya : Apabila seseorang kamu mengundang saudaranya hendaklah saudara itu memenuhiny baik undangan pesta pernikahan maupun lainnya. (HR. Muslim, Abu Daud, dan Ahmad).
Artinya: Apabila seseorang kamu diundang ke suatu walimah perkawinan, maka hendaklah ia memenuhinya. (HR. Ibnu Majah).
Hadis-hadis ini sangat tegas menunjukkan wajibnya memenuhi undangan (walimah). Hanya saja para ulama menyatakan bahwa untuk memenuhi undangan walimah pernikahan hukumnya wajib karena pernikahan memang harus diumumkan dan diramaikan (disemarakkan) sesuai dengan hadis berikut:
Artinya: dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin az-Zuhair dari ayahnya dilaporkan bahwa Nabi bersabda, “umumkanlah pernikahan”. (HR. Ahmad).
Sedangkan memenuhi undangan undangan selain nikah hukumnya sunah. [Lihat Ibnu Qudamah, al-Mughni, VII:117 dan 181].
Dengan demikian jelaslah bahwa hadis Usman yang ditanyakan di atas tidak dapat dipegangi, karena Nabi sendiri menganjurkan memenuhi undangan walimah secara umum termasuk walimah khitan. Khusus walimah pernikahan wajib hukum memenuhi undangannya. Dengan demikian dari segi makna hadis ang ditanyakan di atas tidak sejalan dengan hadis-hadis yang menganjurkan dengan sangat memenuhi undangan ke walimah ini.