Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb.
Perlu saya sampaikan bahwa di masjid kami ada dua imam, yang satu imam yang memang berasal dari pengurus Ranting Muhammadiyah sedangkan yang satu adalah pengikut jamaah salafus shaleh yang kadang dijadikan imam di masjid. Karena seringkali ada halangan, imam dari pengurus Ranting Muhammadiyah maka sering menggunakan imam cadangan. Untuk imam yang dari jamaah salafus shaleh pada salat subuh dia tidak duduk tasyahud akhir (duduk tawarruk) tapi duduk seperti duduk di antara dua sujud (duduk iftirasy). Kami para makmum tidak ada yang duduk mengikuti imam karena keyakinan kami harus duduk tasyahud akhir.
Pertanyaannya: Bagaimana hukum salat kami, sah atau tidak, karena tidak mengikuti gerakan imam?
Terima kasih atas jawaban pertanyaan kami dan mohon maaf.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Pertanyaan Dari:
Toha Ahmad, S.Pd.I, Anggota Ranting Muhammadiyah Pancasila Natar
Lampung Selatan Lampung, dengan alamat e-mail [email protected]
(disidangkan pada hari Jum’at, 19 Syakban 1434 H / 28 Juni 2013)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Saudara penanya yang budiman, mengenai posisi duduk tahiyat akhir sudah pernah dimuat di Rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 20 tahun 2006. Pada fatwa tersebut, yang dimaksudkan dengan tahiyat akhir ialah duduk tahiyat pada rakaat terakhir dalam salat, baik salat yang terdiri atas empat rakaat, atau tiga rakaat, atau dua rakaat, yang setelah selesai berdoa lalu ditutup dengan salam. Cara duduknya, semuanya adalah sama, yaitu dengan cara memajukan atau memindahkan kaki kirinya ke depan, dan mendirikan tapak kaki kanannya dengan menghadapkan jari-jarinya ke arah kiblat, dan duduk di tempat duduknya, sebagaimana dijelaskan dalam suatu hadis:
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِى بْنِ عَطَاءٍ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا مَعَ نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ صَلاَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو حُمَيدٍ السَّاعِدِىِّ اَنَا كُنْتُ اَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللهِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاَيْتُهُ اِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبِهِ وَاِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتِهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَاِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَاِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ القِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ اْلأَخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ اليُسْرَى وَنَصَبَ الاُخْرَى. وَقَعَدَ مَقْعَدَتَهُ. [أخرجه البخارى، كتاب الصلاة، 1: 99]
Artinya: “Diriwayatkan dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha’, bahwa ketika ia duduk bersama beberapa orang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menceritakan cara salat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berkatalah Abu Humaid as-Sa‘idiy: Saya melihatnya ketika bertakbir beliau menjadikan (mengangkat) kedua tangannya setentang dengan bahunya, dan apabila rukuk beliau meletakkan kedua tangannya dengan kuat pada lututnya serta membungkukkan punggungnya, apabila mengangkat kepala beliau meluruskan (badannya) sehingga semua tulang-tulang kembali pada tempatnya. Kemudian apabila bersujud beliau meletakkan kedua tangannya dengan tidak membentangkannya dan tidak pula menyempitkan keduanya serta menghadapkan semua ujung jari-jari kedua kakinya ke arah kiblat. Kemudian apabila duduk pada rakaat kedua beliau duduk di atas kaki kirinya dan mendirikan tapak kaki kanannya, dan apabila duduk pada rakaat terakhir, beliau memajukan kaki kirinya ke depan dan mendirikan tapak kaki yang lain (kanan) dan duduk di tempat duduknya.” [Ditakhrijkan oleh al-Bukhariy, Kitab ash-Shalah; I: 99].
Dari penjelasan hadis tersebut, maka jelaslah bahwa duduk pada rakaat terakhir, sekalipun salatnya hanya dua rakaat, adalah sama dengan duduk tahiyat akhir pada salat-salat yang terdiri atas tiga atau empat rakaat.
Mengenai persoalan apakah imam tersebut harus diikuti atau tidak, terlebih dahulu kami akan menyebutkan beberapa masalah mengenai imam dalam salat jamaah. Yang dimaksud dengan imam, ialah imam salat berjamaah, baik berjamaah di masjid maupun berjamaah di selain masjid, misalnya di lapangan. Para makmum harus mengikuti imam dalam segala gerakannya, dan tidak boleh mendahuluinya. Dalam suatu hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan sebagai berikut:
عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ سَقَطَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ فَرَسٍ فَجُحِشَ شِقُّهُ اْلأَيْمَنُ فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ نَعُودُهُ فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَصَلَّى بِنَا قَاعِدًا فَصَلَّيْنَا وَرَائَهُ قُعُودًا فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ اْلإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلَّوْا قُعُودًا أَجْمَعُونَ. [أخرجه مسلم: ج: 1: كتاب الصلاة :نمرة :77/311]
Artinya: “Diriwayatkan dari az-Zuhriy, ia berkata: Saya mendengar Anas bin Mālik berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru saja jatuh dari kuda, kemudian tergores bagian badannya sebelah kanan. Kemudian kami masuk ke rumah beliau untuk menengoknya, lalu datanglah waktu salat, kemudian beliau salat sambil duduk bersama kami, kemudian kami pun salat di belakang beliau sambil duduk. Setelah selesai salat, beliau bersabda: Sesungguhnya imam (salat) itu diangkat untuk diikuti, maka apabila ia bertakbir maka bertakbirlah kamu, dan apabila ia bersujud maka bersujudlah kamu, dan apabila ia mengangkat kepala maka angkatlah kepalamu, dan apabila ia mengucapkan: ‘sami’allaahu liman hamidah’ (Allah mendengarkan orang yang memuji-Nya), maka ucapkanlah: ‘Rabbanaa wa lakal-hamd’ (Ya Tuhan kami, hanya bagi-Mu segala pujian), dan apabila ia salat sambil duduk, maka salatlah kamu sekalian sambil duduk.” [Ditakhrijkan oleh Muslim, I, Kitab as-Shalah, No. 77/411]
Dalam hadis lainnya dijelaskan sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا، يَقُولُ لاَ تُبَادِرُوا اْلإِمَامَ إِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا قَالَ: وَلاَ الضَّالِّينَ فَقُولُوا: آمِينَ وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا: اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ. [أخرجه مسلم: ج: 1: كتاب الصلاة: نمرة: 87/415]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abū Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pelajaran kepada kita, beliau bersabda: Janganlah kamu mendahului imam; apabila imam bertakbir maka bertakbirlah kamu, dan apabila imam mengucapkan ‘wa ladl-dlaalliin’, maka ucapkanlah: ‘Aamiin’, dan apabila imam rukuk maka rukuklah kamu, dan apabila imam mengucapkan: ‘sami’allaahu liman hamidah’, maka ucapkanlah: ‘Allaahumma Rabbanaa lakal-hamd’.” [Ditakhrijkan oleh Muslim, I, Kitab ash-Shalah, No. 87/415]
Hadis pertama menjelaskan bahwa imam salat wajib diikuti oleh makmum dalam segala geraknya dan tidak boleh menyalahinya. Hadis kedua menjelaskan bahwa makmum tidak boleh mendahului imam dalam segala geraknya; dalam rukuk, takbir, dan seterusnya. Barangsiapa mendahului imam, maka ia berdosa, dan sebagian ulama berpendapat bahwa mendahului imam dalam gerakan apa saja, hukumnya adalah haram, sebab larangan tersebut menunjukkan kepada haram.
Dapat disimpulkan bahwa mengikuti imam adalah sesuatu yang wajib. Akan tetapi dalam perkembangan fikih ibadah, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama mengenai tata cara atau gerakan-gerakan detail dalam salat. Orang yang bapak maksud sebagai “jamaah salafus shaleh” nampaknya mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dalam gerakan duduk tasyahud akhir salat subuh, yakni duduk iftirasy. Sedangkan fatwa Muhammadiyah dan pemahaman mayoritas jamaah di tempat bapak bersesuaian dengan mazhab Imam Syafi’i rahimahullah yakni duduk tawarruk. Hal ini adalah perbedaan yang biasa di dalam fikih dan masing-masing kelompok memiliki dalil yang kuat. Adapun sah atau tidaknya bermakmum di belakang imam yang berbeda dalam fikih maka hal itu sah saja, sepanjang imam tersebut memenuhi syarat-syarat sahnya salat. Sebagaimana ditetapkan oleh para ulama di dalam sebuah kaidah;
كُلُّ مَنْ صَحَّتْ صَلَاتُهُ صَحَّتْ إِمَامَتُهُ.
Artinya: “Setiap orang yang sah salatnya, sah pula ia menjadi imam.” [Mausu’ah Fiqh al-Islami . hal 492. Vol. 2]
Gerakan makmum yang terlarang adalah apabila gerakan salatnya menyelesihi gerakan imam seperti mendahului atau terlambat sebagaimana dijelaskan dalam hadis kedua di atas. Perbuatan bapak yang tidak mengikuti duduk iftirasy imam bukanlah termasuk perbuatan demikian. Jadi salat bapak dan jamaah lainnya di belakang imam yang berbeda dalam cara duduk tasyahud akhir pada salat subuh tetap sah, insya Allah.
Demikianlah jawaban dari kami. Semoga bermanfaat.
Wallahu’alam bish-shawab.
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No. 19, 2013