IbadahMasjidMuamalah

Mengalihfungsikan Masjid, Apakah Memutuskan Pahala Pemberi Wakaf?

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum w. w.

Di Cabang Muhammadiyah tempat saya tinggal, 20 tahun yang lalu diberi hibah sebuah masjid berukuran 10 m x 10 m dari Arab Saudi melalui PP Muhammadiyah. Kini bangunan tersebut sudah rusak dan atapnya bocor bila hujan tiba, dan ketika pelaksanaan shalat Jum’at, jamaahnya tidak tertampung lagi.

Lalu pengurus masjid bermusyawarah untuk merenovasi masjid tersebut. Tetapi setelah dikalkulasi biaya untuk renovasi dan pelebaran masjid, ternyata biayanya hampir sama dengan membangun masjid yang baru. Maka dalam musyawarah tersebut diputuskan untuk membangun sebuah masjid baru di sebelahnya dengan pertimbangan sambil membangun dengan cara bertahap masjid yang dihibah masih dapat digunakan. Hal ini ada yang kontra dengan alasan akan memutuskan pahala bagi yang menghibahkan masjid tersebut. Apabila nanti kalau masjid yang baru dibangun sudah selesai dan terus dipergunakan untuk kegiatan ibadah, otomatis masjid yang lama ditinggalkan.

Pertanyaan saya:

  1. Bolehkah masjid hibah tersebut dialih fungsikan? Seperti dipergunakan untuk balai pengobatan/klinik, Taman Pendidikan al-Qur’an, kantor, maupun perpustakaan Islam?
  2. Masihkah mengalir pahala bagi yang menghibahkan masjid tersebut andaikata masjid tersebut dialihfungsikan?

Mohon jawaban dan penjelasannya disertai dasar hukumnya agar bisa mendinginkan jamaah yang kontra. Atas dimuatnya di Suara Muhammadiyah pada rubrik Tanya Jawab diucapkan banyak terima kasih. Nasrun minallah wa fathun qarib.

Wassalamu’alaikum w. w.

Pertanyaan dari:
Tuparman, Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Makarti Jaya, Banyu Asin, Sumatera Selatan

Jawaban:

Sebelumnya kami haturkan terima kasih atas pertanyaan yang bapak sampaikan kepada divisi fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Berikut ini kami sampaikan jawaban dari dua pertanyaan yang bapak sampaikan kepada kami, sesuai dengan urutan pertanyaannya:

A. Hukum mengalihfungsikan masjid hibah:

Salah satu persoalan yang harus diperhatikan dalam setiap melakukan transaksi mu’amalah adalah persoalan akad (transaksi) antara kedua belah pihak, untuk mengetahui bentuk dan tujuan dilakukannya transaksi tersebut. Hal ini penting untuk diperhatikan sehingga salah satu pihak tidak mengingkari dan menyalahi kesepakatan yang telah dibangun sejak awal.

Setelah memperhatikan substansi pertanyaan bapak, maka menurut hemat kami bahwa transaksi yang dilakukan antara pemerintah Arab Saudi (yang diwakili oleh PP Muhammadiyah) termasuk wakaf, sekalipun dalam istilah hibah. Hal semacam ini disebut isti’arah (menggunakan istilah hibah padahal yang dimaksud adalah wakaf). Indikasinya adalah, jika transaksi tersebut merupakan hibah (pemberian cuma-cuma), maka hibah umumnya diberikan kepada perseorangan dan dalam wujud sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh seseorang secara individu (termasuk keluarga). Namun dalam hal ini sesuatu yang diberikan tersebut berwujud masjid yang merupakan fasilitas umum dan diberikan kepada jamaah (sekelompok orang) dalam hal ini adalah warga Muhammadiyah.

Penggunaan bahasa isti’arah semacam ini sering digunakan dalam berbagai hal. Dalam konteks kehidupan sosial dan bernegara, kita sering mendengar ungkapan “Indonesia mendapatkan bantuan dari negara A”, padahal maksudnya adalah bantuan pinjaman (hutang) sebab adanya kewajiban (perjanjian) untuk mengembalikannya. Oleh sebab itu, jalan yang paling tepat (selamat) adalah memposisikan pemberian tersebut sebagai wakaf.

Wakaf merupakan pemberian dari seseorang atau lembaga tertentu (al-wâqif) kepada pihak lain (al-mauqûf ‘alaih) dengan maksud dan tujuan tertentu. Jika hal ini dilakukan, maka telah terjadi proses perubahan kepemilikan (taghayyur al-milkiyah) dari pihak pemberi wakaf (al-wâkif) kepada pihak penerima wakaf (al-mauqûf ‘alaih), sehingga pihak penerima memiliki hak untuk menggunakan benda (al-mauqûf bih) sesuai dengan tujuan dan kesepakatan pada saat akad.

Pada prinsipnya jika benda yang diwakafkan tersebut telah ditentukan bentuk pemanfaatannya oleh pihak pemberi wakaf (al-wâqif) kepada pihak penerima wakaf (al-mauqûf ‘alaih), maka pihak penerima harus konsisten memegang amanah sesuai dengan kesepakatan awal terjadinya proses wakaf tersebut. Oleh sebab itu, tujuan wakaf harus dijelaskan pada saat berlangsungnya proses penyerahan benda wakaf.

Baca juga:  Bolehkah Kurban Tidak Disembelih Sendiri?

Namun demikian, dalam keadaan tertentu benda wakaf dapat saja dialihfungsikan atau bahkan dijual untuk diganti dengan wujud atau lokasi lain karena alasan-alasan yang sangat obyektif dan rasional. Misalnya; wakaf tanah atau masjid di daerah yang sangat rawan dengan longsor atau bencana alam. Lalu dijual untuk dibelikan lokasi lain yang lebih aman dan strategis sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal. Hal seperti ini dibenarkan untuk mencapai kemaslahatan yang lebih maksimal. Namun jika masih ada alternatif yang lebih baik, maka tentu alternatif itulah yang harus ditempuh.

Oleh sebab itu, sebelum mengalihfungsikan masjid yang diwakafkan tersebut, ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah di tempat bapak berdomisili, yaitu:

1. Panitia atau Pimpinan Cabang Muhammadiyah di tempat bapak tinggal sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu kepada pemberi hibah (dalam hal ini wakaf) setidaknya kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah, terkait dengan tujuan dan kepatutan untuk mengalihfungsikan masjid yang dihibahkan tersebut. Hal ini patut dilakukan, dalam rangka menjaga amanah yang diterima oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah di tempat bapak tinggal. Sebab menjaga amanah merupakan persoalan yang sangat diperintahkan oleh agama. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ [رواه البخاري و مسلم]

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga macam; apabila berbicara ia dusta, apabila berjanji ia ingkar dan apabila diberikan kepercayaan (amanah) ia khianat.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ [رواه البخاري ومسلم]

Artinya: Diriwayatkan dari Abdulah bin Amr, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada empat perkara, barangsiapa yang ada di dalamnya (ia) termasuk orang munafik yang sesungguhnya, dan barangsiapa yang terdapat padanya salah satu di antara kempat hal tersebut (ia) memiliki salah satu ciri dari orang munafik sampai ia meninggalkannya (yaitu); apabila dipercaya (diberikan kepercayaan) ia khianat, apabila berbicara ia dusta, apabila berjanji ia ingkar, dan apabila bersumpah ia menyalahi sumpahnya.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ حَلَفَ بِالْأَمَانَةِ فَلَيْسَ مِنَّا [رواه أبو دود]

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Buraidah, dari Bapaknya, ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menyalahi amanah maka ia tidak termasuk dari golongan (umat)ku.” [HR. Abu Dawud]

2. Menjaga dan menghargai pemberian seseorang dengan merawat semaksimal mungkin pemberiannya, sekaligus sebagai wujud rasa berterima kasih. Hal ini patut diperhatikan agar si pemberi merasa senang dan dihargai pemberiannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ  [رواه الترميذيي وأحمد]

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang tidak bersyukur (berterimakasih) kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.” Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini adalah hadis hasan-shahih. [HR. at-Tirmidzi dan Ahmad]

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ مَنْ لَمْ يَشْكُرْ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ [رواه أحمد]

Baca juga:  Setelah Shalat Witir, Bolehkah Shalat Sunnah Lagi?

Artinya: Diriwayatkan dari an-Nu’man bin Basyir berkata; Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar: “Barangsiapa yang tidak mensyukuri sesuatu yang sedikit, (maka) ia tidak mensyukuri yang banyak, dan barangsiapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia, ia tidak bersyukur kepada Allah, menceritakan (tahadduts) nikmat Allah adalah bentuk kesyukuran dan meningggalkannya termasuk kufur, bersatu itu rahmat dan bercerai berai itu adzab.” (HR. Ahmad)

3. Selaras dengan semangat beragama, masjid merupakan baitullah yang harus dihormati sehingga tidak gampang dialihfungsikan sebagaimana dilakukan oleh penganut agama lain.

4. Jika estimasi biaya pembangunan hampir sama dengan biaya renovasi, maka menurut hemat kami, sepatutnya bangunan yang sudah ada yang merupakan pemberian dan sekaligus amanah seseorang benar-benar dijaga dan dirawat sehingga orang yang memberi merasa senang dan dihargai pemberiannya, kecuali jika dalam keadaan darurat dan tidak ada pilihan yang lebih baik dari itu.

B. Apakah pahala orang yang menghibahkan tetap mengalir (amal jariyah) sekalipun masjid telah dialihfungsikan?

Persoalan pahala tentunya yang paling mengetahui hanya Allah Subhanahu wa ta’ala, sebab suatu amalan sangat ditentukan oleh niat dan keikhlasan seseorang. Namun jika seseorang telah berniat dengan ikhlas untuk melakukan suatu kebaikan, terlebih lagi untuk kemaslahatan orang banyak, bahkan keteladanan yang dilakukannya dapat menjadi inspirasi bagi orang lain untuk melakukan kebaikan, maka tentu amal kebaikan yang dicontohkannya tersebut menjadi amal jariyah buat pelakunya, begitu pula sebaliknya. Dalam hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dijelaskan:

أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ [رواه البخاري ومسلم]

Artinya: Telah menginformasikan kepadaku Muhammad bin Ibrahim at-Taimy, bahwasanya ia telah mendengar Alqamah bin Waqqash al-Laitsi berkata; saya telah mendengar Umar bin al-Khattab berkata di atas mimbar; saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya amal-amal tergantung niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang tergantung dari apa yang diniatkannya, maka barangsiapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya, atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang ia harapkan itu.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ … فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ … [رواه مسلم]

Artinya: Diriwayatkan dari Jarir bin Abdillah, ia berkata; … lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa yang memberikan contoh dalam Islam berupa contoh yang baik, lalu dilakukan (dicontoh) oleh orang setelahnya, (maka) dicatat baginya seperti pahala orang yang melakukannya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahal-pahala mereka (yang mengikutinya). Dan barangsiapa yang memberikan contoh dalam Islam berupa contoh yang jelek, lalu diamalkan (dicontoh) oleh orang-orang setelahnya, dicatat baginya dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka (orang yang mengikutinya) …” [HR. Muslim]

Bahkan jika niat baik dan keikhlasan seseorang untuk menghibahkan atau mewakafkan sesuatu untuk tujuan yang baik (fi sabilillah), lalu dikhianati dan digunakan untuk hal-hal yang negatif (tidak sesuai dengan niat baik orang yang menghibahkan, mereka (orang yang menghibahkan/mewakafkan) tetap akan mendapatkan pahala dari amal salihnya itu, sementara orang yang menyalahgunakan amanah tersebut akan menanggung sendiri dosanya. Terlebih lagi jika amanah tersebut digunakan untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan syariat agama, maka pemberi hibah/wakaf termasuk pihak yang dikhianati dan dizhalimi. Dengan demikian, orang yang mengkhianati tersebut termasuk orang merugi (muflis) yang harus membalas kejahatan/kezalimannya dengan pahalanya sesuai dengan kadar dan tingkat kezhalimannya. Hadis-hadis berikut ini cukup menjelaskan persoalan-persoalan tersebut:

Baca juga:  Pemanfaatan Aset Wakaf untuk Kepentingan Perseorangan

أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ  [رواه البخاري ومسلم وغيرهما]

Artinya: Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, telah menginformasikannya; bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang muslim merupakan saudara (bagi) muslim lainnya, janganlah ia menzhaliminya, dan tidak membiarkannya (mengabaikannya), dan barangsiapa yang (memenuhi) kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya, dan barangsiapa yang mempermudah urusan seorang muslim, maka Allah akan mempermudah suatu urusan dari urusan-urusannya pada hari kiamat. Dan barang siapa yang menutupi (aib) saudaranya, maka Allah akan menutup (aib) nya pada hari kiamat.” [HR. al-Bukhari, Muslim dan lainnya]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ [رواه مسلم والترميذي و أحمد]

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata; bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (bertanya): tahukah (kamu sekalian) apakah ciri orang yang merugi (pailit) itu? Para sahabat menjawab: orang yang merugi menurut kami adalah orang yang tidak memiliki dirham (uang) dan tidak memiliki harta benda. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya orang yang merugi dari umatku (adalah) orang yang datang di hari kiamat dengan (membawa pahala) shalat, puasa dan zakat, dan ia datang (dalam keadaan) telah mencaci ini, menuduh orang lain ini, dan telah memakan (menggunakan) harta ini (secara batil), telah menumpahkan darah ini, dan memukul ini. Lalu ia memberikan (membayar) ini dengan kebaikan-kebaikan (pahala)nya dan ini dari kebaikan-kebaikan (pahala)nya. Maka jika kebaikan-kebaikan (pahala)nya sudah habis sebelum bisa melunasi dosa-dosa (kezhaliman)nya, diambillah dari dosa-dosa mereka (orang yang dizhalimi), lalu diberikan kepadanya kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka.” [HR. Muslim, at-Tirmidzi dan Ahmad]

Jadi menurut pendapat kami, bahwa mengalihfungsikan masjid untuk keperluan seperti balai pengobatan/klinik, Taman Pendidikan al-Quran, kantor, maupun perpustakaan Islam, seperti yang bapak ditanyakan, tidak akan memutuskan amal jariyah orang yang menghibahkan. Apalagi hal tersebut masih dalam wilayah yang makruf (kebaikan) dan bagian dari fungsi masjid secara lebih luas. Namun sebelum melakukan hal tersebut, perlu dipertimbangkan hal-hal sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Agar seseorang dapat menjaga amanah dengan sebaik-baiknya, sehingga tidak mengurangi nilai kebaikan yang telah diberikan oleh orang lain serta tidak menzhaliminya.

Wallahu a’lam bisshawab

Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah: No. 24, 2011

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button