Pertanyaan:
Dalam suatu peristiwa seorang laki-laki berlayar meninggalkan isterinya berbulan-bulan. Setelah kembali, isteri dalam keadaan puasa. Bagaimana sekiranya suami akan segera kembali berlayar pada siang hari itu. juga? Apakah boleh melakukan hubungan suami isteri, mengingat suami telah meninggalkan isteri? Mohon penjelasan. (Poban Azhar, Jl. Cililitan Besar Gg. Taufiq Karangjati, Jak-Tim).
Jawaban:
Perlu dirinci dulu, apakah puasanya isteri itu di bulan puasa ataukah puasa sunat di luar bulan puasa. Kalau isteri puasa sunat -seperti pada hari Senin dan Kamis,- maka isteri dapat membatalkan puasanya dan berhubungan intim dengan suami yang segera akan pergi lagi. Alasannya ialah, bahwa seorang isteri yang melakukan puasa sunat di kala suami berada di rumah, harus atas izin suami, sedang kebolehan membatalkan puasa sunat, berdasarkan perbuatan Nabi yang pernah pula memutuskan puasa sunatnya. Hal demikian tidak bertentangan dengan ayat 33 Surat Muhammad. Adapun Hadis yang melarang seorang wanita puasa sunat tanpa izin suaminya, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: لا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أنْ تَصُومَ وزَوْجُها شاهِدٌ
Artinya: Dari Abu Hurairah ra., ia meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita melakukan puasa, sedang suaminya berada di rumah (tidak dalam keadaan musafir).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maksud dari Hadis larangan isteri melakukan puasa sunat, mengingat riwayat Abu Dawud yang menambahkan selain puasa Ramadhan. Adapun membatalkan puasa sunat, dapat dilakukan sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat, antara lain riwayat Ahmad, Ad Daraquthny dan Al Baihaqy dari Ummi Hani.
عَنْ أَم هَانِي رَضِيَ الله عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ أنّ رسولَ اللهِ ﷺ دخَلَ عليها يومَ الفتحِ، فأُتِيَ بشَرابٍ، فشرِبَ، ثمَّ ناوَلَني، فقلتُ: إنِّي صائمةٌ، فقال رسولُ اللهِ ﷺ: إنّ المُتطوِّعَ أميرٌ على نفسِه، فإنْ شئتِ فصومي، وإنْ شئتِ فأفطِري ( رواه أحمد والدارقطني والبيهقي)
Artinya: Dari Ummi Hani ra, bahwa Rasulullah pada hari pembukaan Makkah masuk rumah saya, ketika disuguhkan minuman beliau pun minum dan menawarkan padaku minuman, maka aku jawab bahwa saya sedang puasa. Maka Nabi pun bersabda: “Sesungguhnya orang yang melakukan puasa sunat sebagai tuan dirinya, kalau engkau menghendaki puasa puasalah terus dan apabila menghendaki (berbuka) berbukalah.” (HR. Ahmad, Ad Daraquthny dan Baihaqy).
Hadis di atas menunjukkan kebolehan untuk memutuskan puasa sunat, dan hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah yang berbunyi WALAA TUBTHILUU A’MAALAKUM tersebut pada Surat Muhammad ayat 33 yang artinya: “Janganlah kamu membatalkan perbuatanmu”. Maksudnya ialah, janganlah kamu merusak pahala amalmu. Dalam tafsir disebutkan, maksudnya ialah janganlah kamu merusak amal kebajikanmu dengan melakukan perbuatan maksiat, yang oleh Al Hasan dan Az Zuhri ditegaskan dengan melakukan dosa besar. Itulah karenanya dalam hal isteri melakukan puasa wajib, yakni puasa dalam bulan Ramadhan, tidak boleh membatalkan puasanya dan melakukan hubungan intim dengan suaminya yang baru saja datang dan bepergian dan segera akan pergi lagi, karena hal demikian termasuk dilarang. Bahkan ada sanksinya ialah memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan kepada 60 orang miskin.