Jenazah

Perawatan Jenazah Berupa Janin Usai Keguguran

Pertanyaan:

Seorang ibu mengalami abortus pada usia kehamilan 8 minggu, oleh dokter lalu dikiret supaya bersih. Apakah janin dirawat seperti jenazah pada umumnya atau cukup dipendam di halaman rumah?

Jawaban:

Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Sebelum kami menjawab pertanyaan saudara, terlebih dahulu kami sampaikan bahwa Majelis Tarjih dan Tajdid pernah mengeluarkan Putusan berkenaan dengan hukum abortus itu sendiri, yaitu ketika Muktamar Tarjih XXII di Malang. Saudara bisa merujuk Himpunan Putusan Tarjih terbitan PDM Malang. Di bawah ini adalah kesimpulan singkat dari Putusan tersebut; (1) bahwa abortus provocatus kriminalis atau aborsi yang dilakukan karena motif kriminal sejak terjadinya pembuahan hukumnya adalah haram, (2) bahwa abortus provocatus medicinalis atau aborsi yang dilakukan karena alasan medis dapat dibenarkan lantaran darurat, yaitu adanya kekhawatiran atas keselamatan atau kesehatan ibu waktu mengandung dan melahirkan berdasarkan hasil konsultasi dengan para ahli yang bersangkutan.    

Perawatan jenazah dalam Islam adalah satu rangkaian proses pengurusan jenazah yang terdiri dari memandikan janazah, mengkafani, menyalatkan dan memakamkannya dengan tata cara seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.. Dalam hal wanita yang mengalami abortus ketika usia kehamilan baru 8 minggu, pertanyaan yang muncul adalah, apakah bayi yang keluar dari rahim ibu tersebut terhitung berhak mendapatkan perlakuan seperti umumnya manusia dewasa yang meninggal?

Sepanjang penelitian kami, belum ada preseden serupa yang pernah terjadi di zaman Rasulullah Saw. yang bisa kita jadikan dalil spesifik untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sehingga dalam kasus ini, kita harus melakukan istinbath (penggalian hukum) dari beberapa dalil umum yang datang kepada kita.

Dalam hal ini ada satu hadis yang bisa dijadikan acuan. Rasulullah Saw. pernah bersabda:

السِقْطُ يُصَلَّى عَلَيْهِ، وَيُدْ عَى لِوَالِدَيْهِ بِاْلِمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ (رواه أبو داود والنسائي)

Artinya: “Bayi yang keguguran disalatkan, dan kedua orangtuanya didoakan agar mendapatkan ampunan dan rahmat dari Allah” (HR. Abu Dawud dan al-Nasai).

Hadis tersebut datang dalam bentuk umum alias tidak membawa berita spesifik tentang umur janin yang meninggal karena keguguran yang layak untuk dimandikan, dikafani, disalatkan dan dimakamkan seperti jenazah lainnya pada umumnya. Sehingga muncul beberapa kemungkinan dalam menerjemahkan hadis tersebut. Pertama, yang dimaksud dengan al-siqthu (bayi yang keguguran) dalam hadis itu adalah hasil proses pembuahan atau bertemunya sel ovum dengan sel sperma di rahim wanita. Tanpa mempedulikan umur janin dan bagaimana bentuknya, jika janin tersebut meninggal, ia sudah berhak mendapatkan perlakuan sesuai dengan tuntunan Islam dalam merawat jenazah orang dewasa. Kedua, perawatan jenazah janin mempersyaratkan janin telah masuk fase tertentu setelah fase al-nutfhah (pembuahan) terlebih dahulu, yaitu fase nafkh ruh atau telah ditiupkannya nyawa kepada si janin. Pada kemungkinan kedua ini, perawatan jenazah dilakukan bukan semata-mata karena janin yang telah ‘wujud’ dalam rahim sang ibu, namun karena ia telah bernyawa. Oleh karenanya, jenazah janin yang lahir sebelum memasuki fase bernyawa, tidak wajib diperlakukan seperti jenazah dewasa pada umumnya. Ketiga, perawatan jenazah janin selain mempersyaratkan janin telah terisi oleh nyawa terlebih dahulu, juga mempersyaratkan janin telah keluar dari rahim ibu dalam keadaan hidup. Dengan kata lain, janin yang berhak dimandikan, dikafani, disalatkan dan dimakamkan adalah janin yang meninggal di luar rahim sang ibu. 

Baca juga:  Acara Tujuh Bulanan Ibu Hamil dan Membacakan Talqin Saat Pemakaman

Jika mengacu pada keumuman hadis di atas, maka sesungguhnya janin yang meninggal pada fase apapun setelah fase pembuahan, wajib dimandikan, dikafani, disalatkan dan dimakamkan. Namun, dalam penelitian kami ada beberapa dalil lain yang mengkhususkan (mukhasshish) hadis tersebut. Sehingga pemaknaan al-siqhtu (janin yang keguguran) seperti termaktub dalam hadis di atas, harus ditarik kepada pengertian janin yang telah memasuki fase nafkh al-ruh (memiliki nyawa) terlebih dahulu. Dalil yang mengkhususkan hadis tersebut adalah: 

a. Firman Allah Swt:

ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ  

Artinya: “Kemudian Dia (Allah) mematikannya, lalu menguburkannya” (Abasa: 21).

Ayat tersebut menyebutkan jenazah yang dimakamkan adalah yang sebelumnya mengalami proses kehidupan dan kematian. Sehingga, dengan demikian, janin yang masih berada pada fase embrio (usia janin 1 s/d  8 minggu) dan fase fetus yang belum memiliki nyawa, secara otomatis tidak wajib mendapatkan pemakaman dengan tata cara yang umumnya berlaku bagi jenazah dewasa.  

b. Hadis Nabi Muhammad Saw.:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَهَلَّ الصَّبِيُّ صُلِّيَ عَلَيْهِ وَوُرِثَ (رواه النسائ و ابن ماجه)

Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda: apabila bayi telah menangis, maka ia telah berhak untuk disalatkan dan diwarisi” (HR. Nasai dan Ibnu Majah)

Sepintas dua hadis di atas tampak tumpang tindih atau membawa informasi yang bertabrakan. Hadis pertama menerangkan bahwa janin yang keguguran berhak disalatkan, tanpa melihat berapapun umurnya. Hadis kedua menjelaskan bahwa bayi yang disalatkan adalah bayi yang keluar hidup dari rahim ibu, lalu kemudian meninggal. Hadis-hadis tersebut kedua-duanya berkualitas sahih. Sehingga harus ditempuh jalur kompromi (al-jam’u wa al-tawfiq) untuk menghindari kontradiksi antara keduanya. Cara mengkompromikannya adalah dengan mengambil pendapat bahwa bayi yang disalatkan adalah bayi yang telah ditiupkan ruh (nyawa) oleh Allah. Cara kompromi ini akan menjadi penengah yang tidak mengabaikan kedua hadis tersebut. Inilah pendapat yang dipegangi oleh jumhur (mayoritas) ulama Islam  (al-Mughni, vol. II, 393)

Baca juga:  Hukum dan Tuntunan Ziarah Kubur

Lalu pertanyaannya, kapan fase nafkh al-ruh itu dimulai, atau dengan kata lain, sejak bayi berumur berapa bulan, ia terhitung harus dimandikan, disalatkan dan dimakamkan?

Dalam al-Quran dan Hadis nabi terdapat beberapa keterangan tentang fase-fase penciptaan manusia. Dalam al-Quran surat al-Mukminun ayat 12-14, Allah berfirman:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ ( ) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ ( ) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ ( )

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kukuh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian jadikan dia makhluk (yang) berbentuk lain. Maka Mahasuci Allah Pencipta Yang Paling Baik”.

Dalam beberapa kitab tafsir, kalimat “khalqan akhar” pada ayat tersebut dimaknai sebagai fase nafkhu al-ruh (peniupan ruh) ke dalam janin. Artinya, Allah meniupkan ruh di dalam janin sehingga ia menjadi makhluk yang berbentuk lain, yang mempunyai pendengaran, penglihatan, rasa, gerakan, dan keguncangan (Tafsir Ibnu Jarir al-Thabariy: vol. IXX, 18, Tafsir Ibnu Katsir: vol. V, 365).Ibnu Katsir dengan mengutip pendapat dari sahabat Ali bin Abi Thalib Ra. menafsirkan terjadinya fase khalqan akhar atau nafkh al-ruh setelah bayi melewati bulan keempat.

Ibnu Hajar al-Asqalani (Fathu al-Bari: vol. XI, 481) menyebutkan bahwa semua ulama sepakat berpandangan bahwa fase ditiupkannya ruh ke janin adalah bulan kelima, atau setelah janin melewati masa empat bulan (120 hari). Hal itu berdasarkan pada sebuah hadis Rasulullah Saw.:

Baca juga:  Melayat Jenazah Non Muslim

قَالَ عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ قَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ ثُمَّ يُنْفَخُ فِيهِ الرُّوح (متفق عليه)

Artinya: “Abdullah berkata, Rasulullah Saw. yang jujur dan dapat dipercaya telah bersabda: sesungguhnya tiap-tiap di antara kalian dikumpulkan penciptaannya (dari ovum dan sperma) di dalam perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian ia menjadi segumpal darah dalam jangka waktu yang sama (40 hari), kemudian menjadi segumpal daging dalam jangka waktu yang sama (40 hari), kemudian setelah itu Allah mengutus seorang Malaikat. Allah menyuruhnya tentang empat perkara, tulislah amalan, rizki, ajal dan kebahagiaan dan kesengsaraan hidup, kemudian ia pun ditiupkan ruh” (HR. Muttafaq alaih).

Dengan demikian, berangkat dari penjelasan di atas, selama bayi masih berada pada usia di bawah 120 hari (4 bulan), maka berarti ia belum ditiupkan ruh. Jika ia meninggal pada fase tersebut, ia pun tidak wajib untuk diperlakukan dengan tatacara seperti kita memperlakukan jenazah orang dewasa, yaitu dimandikan, dikafani, disalatkan dan dimakamkan di pemakaman khusus. Namun, bagi yang ingin melakukannya sebagai bentuk penghormatan terhadap makhluk Allah, tidak ada masalah baginya untuk melakukannya.

Demikian jawaban dari kami. Wallahu a’lamu bi al-Shawab.

Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No.8, 2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button