Merujuk pada Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 04/EDR/I.0/E/2020 tentang Tuntunan Salat Idulfitri dalam Kondisi Darurat Pandemi Covid-19 dan Edaran Nomor 05/EDR/I.0/E/2020 Tuntunan dan Panduan Menghadapi Pandemi dan Dampak Covid-19 serta mengingat grafik penularan Covid-19 secara nasional belum menunjukkan tanda menurun, maka:
1. Salat Iduladha hukumnya sunah muakadah (sunnah mu’akkadah).
2. Dianjurkan dengan sangat agar dilaksanakan di rumah masing-masing terutama pada daerah yang masih belum dinyatakan aman dari perseberan Covid-19.
3. Pada daerah yang berdasarkan ketetapan pihak berwenang dinyatakan aman, salat Iduladha dapat dilakukan di lapangan kecil atau tempat terbuka di sekitar tempat tinggal dalam jumlah jamaah yang tidak membawa kerumunan besar, dengan beberapa protokol yang harus diperhatikan, yaitu: a. salat dengan saf berjarak; b. salat menggunakan masker; c. dilaksanakan tidak dalam kelompok besar atau terpisah dalam kelompok kecil dengan pembatasan jumlah jamaah yang hadir; d. mematuhi protokol kesehatan terkait pencegahan Covid-19 seperti menjaga kebersihan tempat, kebersihan badan, pengukuran suhu tubuh, tidak berjabat tangan, tidak berkerumun dan lain-lain.
4. Kita harus terus berjuang untuk memutus rantai persebaran virus korona dan dalam rangka sadd aż-żarīʻah (tindakan preventif) guna menghindarkan diri dari jatuh ke dalam kebinasaan seperti diperingatkan dalam al-Quran surah al-Baqarah (2): 195 dan demi menghindari mudarat seperti ditegaskan dalam sabda Nabi saw riwayat Mālik dan Aḥmad dari Ibn ‘Abbās.
وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ.
Belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik [QS al-Baqarah (2): 195].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ [رواه مالك وأحمد واللفظ له].
Dari Ibn ‘Abbās (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidak ada kemudaratan dan pemudaratan [HR Mālik dan Aḥmad, dan ini lafal Aḥmad].
Sehubungan dengan itu, di bawah ini diberikan tuntunan menyambut dan melaksanakan salat Iduladha di daerah yang oleh pihak berwenang telah ditetapkan sebagai daerah yang aman/tidak terdampak (zona hijau) meskipun secara umum masih dalam keadaan belum bebas dari pandemi Covid-19:
1. Memperbanyak Takbir
Hendaknya memperbanyak membaca takbir sejak Subuh hari Arafah hingga Asar hari terakhir di Mina (tanggal 13 Zulhijah). Hal ini didasarkan pada Putusan Muktamar Tarjih XX di Garut pada tanggal 18 s.d. 23 Rabi’ul Akhir 1396 H / 18 s.d. 23 April 1976.
Pelaksanaan takbir sejak Subuh hari Arafah sampai pada hari-hari tasyrik tidak hanya pada waktu-waktu tertentu, seperti setelah salat fardu, tetapi dapat dibaca setiap waktu. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhārī berikut:
وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنًى فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ الْمَسْجِدِ فَيُكَبِّرُونَ وَيُكَبِّرُ أَهْلُ الْأَسْوَاقِ حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُكَبِّرُ بِمِنًى تِلْكَ الْأَيَّامَ وَخَلْفَ الصَّلَوَاتِ وَعَلَى فِرَاشِهِ وَفِي فُسْطَاطِهِ وَمَجْلِسِهِ وَمَمْشَاهُ تِلْكَ الْأَيَّامَ جَمِيعًا وَكَانَتْ مَيْمُونَةُ تُكَبِّرُ يَوْمَ النَّحْرِ وَكُنَّ النِّسَاءُ يُكَبِّرْنَ خَلْفَ أَبَّانَ بْنِ عُثْمَانَ وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ لَيَالِيَ التَّشْرِيقِ مَعَ الرِّجَالِ فِي الْمَسْجِد [رواه البخاري].
Bahwasanya ‘Umar r.a. bertakbir di kubahnya di Mina, kemudian didengar oleh orang-orang yang ada di masjid dan mereka pun mengikuti takbir, demikian juga orang-orang yang di pasar ikut bertakbir, hingga bergemuruh suara takbir di Mina. Pada hari-hari tasyrik, Ibn Umar juga bertakbir di Mina, baik sehabis salat, sewaktu di tempat tidur, waktu duduk atau berjalan, di dalam kemah atau di tempat lainnya. Maimunah juga bertakbir pada hari raya kurban, dan para wanita bertakbir di masjid bersama kaum laki-laki di bawah pimpinan Abbān ibn ‘Uṡmān dan ‘Umar ibn ‘Abd al-Azīz pada malam-malam tasyrik [HR al-Bukhārī].
Bacaan takbir Iduladha sebagaimana tercantum dalam Tanya Jawab Agama jilid 1 halaman 112 dan jilid 3 halaman 162-164 serta jilid 5 halaman 74, berdasarkan riwayat yang kuat adalah,
اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ لآاِلهَ اِلَّاالله وَاللهُ اَكْبَرُاللهُ اَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْد.
Allāhu Akbar – Allāhu Akbar – Lā ilāha illallāh – Wallāhu Akbar – Allāhu Akbar – Wa lillāhil hāmd.
Lafal takbir di atas, sesuai dengan hadis,
عَنْ إِبْرَاهِيمَ قَالَ كَانُوا يُكَبِّرُونَ يَوْمَ عَرَفَةَ وَأَحَدُهُمْ مُسْتَقْبِلٌ الْقِبْلَةَ فِي دُبُرِ الصَّلَاةِ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ ]رواه ابن ابي شيبة[.
Dari Ibrāhim (diriwayatkan) ia berkata, ketika para sahabat memasuki hari Arafah, dan salah satu di antara mereka menghadap ke kiblat di akhir salat, mereka mengucapkan takbir: Allāhu Akbar – Allāhu Akbar – Lā ilāha illallāh – Wallāhu Akbar – Allāhu Akbar – Wa lillāhil hāmd[HR Ibn Abī Syaibah].
2. Berhias dengan pakaian bagus dan memakai wangi-wangian
Hal ini didasarkan pada:
عَنْ جَعْفَرَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَلْبَسُ بُرْدَ حِبَرَةٍ فِي كُلِّ عِيْدٍ [رواه الشافعي].
Dari Ja‘far ibn Muḥammad dari ayahnya dari kakeknya (diriwayatkan), bahwa Nabi saw selalu memakai wool (Burda) bercorak (buatan Yaman) pada setiap hari Id [HR asy-Syāfi‘ī dalam kitabnya Musnad asy-Syāfi‘ī].
عَنْ زَيْدِ بْنِ الْحَسَن بْنِ عَلِي عَنْ أَبِيْهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْعِيْدَيْنِ أَنْ نَلْبَسَ أَجْوَدَ مَا نَجِدُ وَأَنْ نَتَطَيَّبَ بِأَجْوَدِ مَا نجِدُ وَأَنْ نَضْحِيَ بِأَسْمَنِ مَا نَجِدُ الْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْجَزُوْرَ عَنْ عَشَرَةٍ وَأَنْ نُظْهِرَ التَّكْبِيْرَ وَعَلَيْنَا السَّكِيْنَةُ وَالْوَقَارُ [رواه الحاكم].
Dari Zaid ibn al-Ḥasan bin Alī dari ayahnya (diriwayatkan) ia berkata: Kami diperintahkan oleh Rasulullah saw pada dua hari raya (Idulfitri dan Iduladha) untuk memakai pakaian terbaik yang ada, memakai wangi-wangian terbaik yang ada, dan menyembelih binatang kurban tergemuk yang ada (sapi untuk tujuh orang dan unta untuk sepuluh orang) dan supaya kami menampakkan keagungan Allah, ketenangan dan kekhidmatan [HR al-Ḥākim dalam kitabnya al-Mustadrak, IV: 256].
3. Tidak makan sebelum salat Iduladha
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ الْأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّيَ [رواه الترمَذي].
Dari Abdullah ibn Buraidah dari ayahnya (yaitu Buraidah bin al-Husaib) (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw pada hari Idulfitri tidak keluar sebelum makan, dan pada hari Iduladha tidak makan sehingga selesai salat [HR at-Tirmiżī].
4. Waktu salat Iduladha
Waktu salat Id adalah pagi hari, dimulai dari matahari setinggi tombak sampai waktu zawāl (matahari bergeser ke barat). Ibn Qayyim al-Jauziyah mengatakan: “Nabi saw biasa mengakhirkan salat Idulfitri dan mempercepat pelaksanaan salat Iduladha” [Ibn Qayyim al-Jauziyah, Zād al- Ma’ād fī Hadyi Khair al-‘Ibād, 1:425].
Tujuan salat Idulfitri agak diundur agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fitri. Sedangkan salat Iduladha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih kurban [Abu Bakr Jābir al-Jazāiri, Minhāj al-Muslim, hlm. 201]. Hal ini sejalan dengan pendapat Ibn Qudamah, yaitu karena pada hari Adha, umat Islam akan sibuk melakukan pemotongan hewan kurban (al-Mughnī: II/280)
Pelaksanaan salat hendaknya disegerakan, ini dapat dipahami dari hadis,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ صَاحِبُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ خَرَجَ مَعَ النَّاسِ يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَأَنْكَرَ إِبْطَاءَ الْإِمَامِ وَقَالَ إِنْ كُنَّا لَقَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ وَذَلِكَ حِينَ التَّسْبِيحِ ]رواه أبو داود وابن ماجه والطبراني[.
Dari ‘Abdullāh ibn Busr –seorang sahabat Rasulullah- (diriwayatkan) bahwasanya ia bersama orang-orang berangkat pada hari raya Idulfitri, atau Iduladha, kemudian ia keberatan dengan keterlambatan imam seraya mengatakan, seharusnya kita telah selesai pada saat ini, dan itu tatkala tasbih (duha) [HR Abū Dāwūd, Ibn Mājah dan aṭ-Ṭabrānī]
5. Salat Iduladha dikerjakan dua rakaat dan tidak ada salat sunah sebelum maupun sesudahnya,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا [رواه مسلم].
Dari Ibn ‘Abbās (diriwayatkan) bahwasanya Rasulullah saw pada hari Iduladlha atau Idulfitri keluar, lalu salat dua rakaat, dan tidak mengerjakan salat apa pun sebelum maupun sesudahnya [HR Muslim].
6. Tidak ada azan dan iqamah sebelum salat Iduladha serta tidak ada ucapan aṣ-ṣalātu jāmi’ah
عَنْ جَابِرٍ ابْنِ سَمُرَةَ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ [رَوَاهُ مُسْلِم].
Dari Jābir ibn Samurah (diriwayatkan) ia berkata: Aku pernah melaksanakan salat Id (Idulfitri dan Iduladha) bersama Rasulullah saw bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada azan maupun iqamah [HR Muslim].
Ibn Qayyim mengatakan: Jika Nabi saw sampai ke tempat salat, beliau pun mengerjakan salat Id tanpa ada azan dan iqamah. Juga ketika itu untuk menyeru jemaah tidak ada ucapan “aṣ-ṣalātu jāmi‘ah [Ibn Qayyim al-Jauziyah, Zād al-Ma’ād, I: 425].
7. Tatacara salat Iduladha
a. Memulai dengan takbiratul ihram, sebagaimana salat-salat lainnya, diiringi niat ikhlas karena Allah
b. Membaca doa Iftitah
c. Takbir (takbīr al-zawāid/takbir tambahan) sebanyak 7 (tujuh) kali pada rakaat pertama setelah takbiratul ihram dan doa iftitah, serta 5 (lima) kali pada rakaat kedua setelah takbir intiqāl (bangkit dari sujud), dengan mengangkat tangan
عَنْ عَائِشَة أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ فِي الْأُولَى سَبْعًا قَبْلَ الْقِرَاءَةِ وَفِي الْآخِرَةِ خَمْسًا قَبْلَ الْقِرَاءَة [رواه أحمَد].
Dari Āisyah (diriwayatkan bahwa) Rasulullah saw pada salat dua hari raya bertakbir tujuh kali dan lima kali sebelum membaca (al-Fatihah dan surah) [HR Aḥmad].
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ الْحَضْرَمِيِّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ مَعَ التَّكْبِيرِ [رواه أحمد وأبو داود].
Dari Wā’il ibn Ḥujr al-Ḥaḍramī (diriwayatkan) bahwa ia berkata: Saya melihat Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir [HR Aḥmad dan Abū Dāwūd].
Di antara takbir-takbir (takbīr al-zawāid) tidak ada bacaan zikir tertentu. Belum didapatkan hadis ṣaḥīh marfū’ yang menerangkan bacaan Rasulullah saw di antara takbir-takbir tersebut.
d. Membaca surah al-Fatihah, diawali dengan bacaan ta‘āwuż dan basmalah
e. Setelah membaca al-Fatihah membaca surah yang dianjurkan, yaitu antara lain surat al-Aʻlā dan al-Gāsyiyah berdasarkan hadis,
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِي الصَّلَاتَيْنِ [رواه مُسلم].
Dari an-Nu‘mān ibn Basyīr (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw biasa membaca dalam salat Id maupun salat Jumat “Sabbiḥisma rabbikal-a`lā” dan “Hal atāka hadīṡul-ghāsyiyah.”An-Nu`mān mengatakan begitu pula ketika Id bertepatan dengan hari Jumat, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing salat [HR Muslim].
Membaca kedua surah dalam hadis di atas merupakan anjuran, tetapi juga dibolehkan membaca surat lain karena suatu atau lain alasan semisal tidak hafal. Hal ini sesuai firman,
… فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ …
… karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al–Quran [QS. al-Muzzammil (73): 20].
f. Rukuk, sujud dan seterusnya sampai salam sebagaimana dalam salat biasa
8. Khutbah setelah salat Iduladha
Setelah selesai salat hendaklah imam berkhutbah satu kali, dimulai dengan “alḥamdulillāh” kemudian menyampaikan nasihat kepada para hadirin dan menganjurkan untuk berbuat baik. Hal ini didasarkan pada Putusan Muktamar Tarjih XX di Garut pada tanggal 18 s.d. 23 Rabi’ul Akhir 1396 H / 18 s.d. 23 April 1976, sebagai berikut: “Sesudah selesai salat hendaklah Imam membaca khutbah satu kali, dimulai dengan “Al Hamdulillah” dan menyampaikan nasehat kepada para hadirin dan menganjurkan untuk berbuat baik.” Ini berdasarkan dalil,
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ [رواه البخاري ومسلم واللفظ للبخاري].
Dari Abū Sa’īd al-Khudrī (diriwayatkan) ia berkata: Nabi saw pada hari raya Fitri dan Adha Rasulullah saw pergi ke tempat salat. Hal pertama yang beliau kerjakan adalah salat, kemudian apabila telah selesai beliau bangkit menghadap orang banyak ketika mereka masih duduk pada saf-saf mereka. Lalu beliau menyampaikan peringatan dan wejangan kepada mereka dan mengumumkan perintah-perintah pada mereka dan jika beliau hendak memberangkatkan angkatan atau mengumumkan tentang sesuatu beliau laksanakan kemudian pulang [HR al-Bukhārī dan Muslim, lafal al-Bukhārī].
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلاَةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلاَلٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ. [رواه مسلم والنسائى]. وَفِى رِوَايَةٍ عَنْهُ عِنْدَ مُسْلِمٍ فَلَمَّا فَرَغَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَزَلَ وَ أَتَى النِّسَاءَ فَذَكَرَهُنَّ … الحديث.
Dari Jābir ibn ‘Abdillāh (diriwayatkan) ia berkata, pernah aku mengalami salat hari raya bersama Rasulullah saw, lalu dimulai salat sebelum khutbah tanpa azan dan iqamah. Kemudian beliau bangkit bersandar pada Bilal, lalu beliau menganjurkan orang tentang takwa kepada Allah dan menyuruh patuh kepada-Nya dan menyampaikan nasihat dan peringatan kepada mereka. Lalu beliau mendatangi para wanita dan menyampaikan nasihat dan peringatan kepada mereka … dan seterusnya hadis. [HR Muslim dan an-Nasā’ī]. Dalam riwayat Muslim dengan kalimat: Setelah Nabi saw selesai, beliau turun dan mendatangi para wanita dan menyampaikan peringatan-peringatan kepada mereka … dan seterusnya hadis.
Oleh karena dalam hadis-hadis itu tidak disebutkan khutbah Id dimulai dengan takbir, maka digunakan dalil yang menjelaskan praktik Rasulullah saw dalam memulai khutbah, sebagaimana dijelaskan dalam hadis,
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ النَّاسَ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ… [رَوَاهُ مُسْلِم].
Dari Jābir (diriwayatkan) ia berkata Rasulullah saw berkhutbah di hadapan manusia memuji Allah dan memujinya kemudian bersabda: Siapa saja yang mendapat petunjuk dari Allah maka tidak ada yang menyesatkannya, dan siapa saja yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk [HR Muslim].
Meskipun tidak ada keterangan tentang memulai khutbah Id dengan takbir, namun ada anjuran untuk memperbanyak bacaan takbir dalam berkhutbah, berdasarkan dalil,
عَنْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدِ بْنِ عَمَّارِ بْنِ سَعْدٍ الْمُؤَذِّنِ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَبِّرُ بَيْنَ أَضْعَافِ الْخُطْبَةِ يُكْثِرُ التَّكْبِيرَ فِي خُطْبَةِ الْعِيدَيْنِ ]رواه ابن ماجه[.
Dari ‘Abdurraḥmān bin Sa‘d bin ‘Ammār bin Sa‘d, seorang muazin (diriwayatkan) ia berkata, telah memberitahukan padaku ayahku, dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: Nabi saw pernah bertakbir di tengah-tengah khutbah, beliau memperbanyak takbir dalam khutbah dua Id [HR Ibn Mājah].
Hadis ini oleh al-Albānī dinilai lemah, namun diamalkan oleh kebanyakan ulama fikih sebagai bagian dari hal yang dianjurkan ketika berkhutbah, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Qudāmah dalam al-Mughni.
Dalam hadis-hadis di atas, tidak ada pula keterangan tentang khutbah Id dengan dua khutbah, sehingga khutbah Id hanya satu kali tanpa duduk.
Khutbah diakhiri dengan berdoa sambil mengangkat jari telunjuk seperti dalam khutbah Jumat, sebagaimana hadis,
عَنْ حُصَيْنٍ: أَنَّ بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ، رَفَعَ يَدَيْهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فَسَبَّهُ عُمَارَةُ بْنُ رُوَيْبَةَ الثَّقَفِيُّ، فَقَالَ: مَا زَادَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى هَذَا، وَأَشَارَ بإصْبُعِهِ السَّبَّابَةِ [رواه النسائى].
Dari Huṣain (diriwayatkan), bahwa Bisyr ibn Marwān mengangkat kedua tangannya pada khutbah Jumat di atas mimbar, kemudian dimarahi oleh Umārah ibn Ruwaibah aṡ-Ṡaqafī dan berkata: Rasulullah saw tidak menambah ini, dengan mengisyaratkan jari telunjuknya [HR an-Nasā’ī].
Pada masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, untuk memperpendek waktu pertemuan massa sebagai salah satu upaya memutus rantai persebaran Covid-19, hendaknya khutbah dilaksanakan seringkas mungkin dengan durasi maksimal 10 menit.
Sumber: Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 06/EDR/I.0/E/2020 Tanggal 03 Zulkaidah 1441 H/24 Juni 2020 M
Salam
Adakah Fatwa Muhammadiyah tentang doa berjamaah atau doa bersama2?
Terima kasih dan mohon maaf.
Salam
sudah pernah dimuat di sini pak, coba dicari dulu
Shof berjarak?
Saya koq belum faham ya dengan cara beribadah yg satu ini… Bisa minta dalil, atau apapun yg membenarkan amalan tersebut. Krn ini fatwa…