IbadahThaharah

Seputar Haid (Masa Suci dan Jenis Darah)

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb.

  1. Saya mohon penjelasan, saya seorang wanita yang sedang haid kemudian berhenti haidnya pada saat setelah Magrib, tetapi masih khawatir keluar lagi karena haidnya tidak lancar, kemudian mandi setelah waktu Isya karena memang sudah mantap tuntas. Pertanyaannya, apakah saya harus menjamak salat Magrib dengan Isya atau tidak?
  2. Biasanya seorang wanita kalau haid itu satu bulan sekali, tetapi saya pernah mengalami haid sepuluh hari dari suci kemudian haid lagi, sedang yang keluar itu tidak darah cair tetapi kental sedikit dan keluarnya justru pada saat buang air kecil. Apakah itu memang haid atau penyakit? Dan apakah saya tetap salat atau tidak?

Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Pertanyaan Dari:
Sdri. Eny Mulyana, Sendang Rt 02/02, Kalinyamatan Jepara Jawa Tengah
(disidangkan pada hari Jum’at, 1 Jumadilakhir 1434 H / 12 April 2013)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan, kami akan memberikan jawaban secara ringkas supaya lebih mudah dipahami.

1. Untuk menjawab pertanyaan pertama, ada baiknya kami sampaikan hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah, yang berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِى حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَسَأَلَتِ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ ذَلِكَ عِرْقٌ، وَلَيْسَتْ بِالْحَيْضَةِ، فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِى وَصَلِّى. [رواه البخاري]

Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Fatimah binti abu Hubaisy sedang istihadhah lalu dia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (tentang hal itu), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan itu adalah penyakit, bukan haid, jika haid datang maka tinggalkanlah shalat dan jika haid pergi maka mandilah dan shalatlah’. [HR. al-Bukhari]

Hadis di atas menggunakan kata perintah ightasili (mandilah) dan shalli (salatlah). Dalam kaidah ushul fiqh dikatakan bahwa al-amru ‘inda al-ithlaq yaqtadhi al-wujub wa al-mubadarah bi fi‘lihi (perintah mutlak/tanpa tambahan ikatan menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan hukumnya wajib dan harus segera dikerjakan). Artinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kaum wanita untuk menyegerakan mandi ketika haid sudah selesai, tidak boleh menunda-nunda. Lalu untuk menentukan akhir masa haid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan petunjuk seperti dalam riwayat ‘Aisyah berikut:

Baca juga:  Dana Zakat untuk Memberangkatkan Haji

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهَا قَالَتْ إِنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ جَحْشٍ الَّتِى كَانَتْ تَحْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ شَكَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- الدَّمَ فَقَالَ لَهَا امْكُثِى قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِى. فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: Ummu Habibah binti Jahsy yang berada di bawah (istri) Abdurrahman bin ‘Auf mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang darahnya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: ‘Diamlah selama masa haidmu biasanya menahanmu, setelah itu mandilah.’ Ia biasanya mandi suci setiap salat.” [HR. Muslim]

Dengan demikian, untuk bersuci dari haid seorang wanita juga tidak harus buru-buru, namun sesuai kebiasaan. Jika memang biasanya keluar sedikit-sedikit, maka pada beberapa saat ia bisa menunggu sampai akhir masa kebiasaan haidnya. Bahkan dalam suatu riwayat (atsar) diceritakan bahwa ‘Aisyah mendapat kiriman kapas bernoda kuning sisa haid dari para perempuan, maka dia mengatakan: Jangan tergesa-gesa, sampai kalian melihat warna putih! (atsar ini dapat dilihat pada buku as-Sunan al-Kubra lil-Baihaqi; bab as-sufrah wa al-kudrah fi ayyam al-haidl haidlun)

Jadi, jika digabungkan antara perintah menyegerakan mandi, menghitung akhir haid sesuai kebiasaan dan tanda-tanda akhir haid yang dikatakan ‘Aisyah di atas, dapat dipahami bahwa seorang wanita tidak harus segera mandi ketika darah sudah tidak mengalir setiap waktu, pada akhir-akhir masa haid. Ia dapat menunggu sesuai kebiasaan akhir haidnya dan di antara tandanya adalah keluar warna putih. Dan jika warna putih sudah keluar, maka ia harus bersegera mandi.

Baca juga:  Adakah Tuntunan Puasa Bulan Rajab?

Adapun untuk menjawab pertanyaan, apakah harus menjamak salat atau tidak, maka kami sampaikan bahwa ijmak ulama menyepakati bahwa wanita haid tidak diperintahkan mengqadha` salat, juga seperti dalam riwayat Abu Dawud berikut:

عَنْ مُعَاذَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتْ عَائِشَةَ أَتَقْضِى الْحَائِضُ الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ لَقَدْ كُنَّا نَحِيضُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلاَ نَقْضِى وَلاَ نُؤْمَرُ بِالْقَضَاءِ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Mu`adzah bahwa seorang perempuan bertanya kepada ‘Aisyah: Apakah perempuan haid harus mengqadha’ salat? ‘Aisyah menjawab: Apakah kamu bidadari? Kami haid pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami tidak mengqadha’ salat dan tidak diperintah untuk mengqadha’.”  [HR. Muslim]

Jadi, wanita haid tidak perlu mengqadha’ maupun menjamak salat. Kondisi saudari pada saat Magrib adalah pada masa menunggu apakah darah akan keluar lagi atau tidak, maka saudari masih berada dalam keraguan. Kaidah ushul fiqh menyatakan bahwa:

اليَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ

Artinya: “Keyakinan (kepastian) tidak dapat dihapuskan dengan yang keraguan.”

Maksudnya adalah jika seseorang merasa ragu pada suatu masalah, seperti seseorang yang sudah berwudhu merasa ragu apakah dia mengeluarkan angin atau tidak, maka yang diakui adalah keyakinan awalnya yaitu dia sudah berwudhu. Keraguannya akan keluarnya angin tidak diakui. Pada keadaan saudari, yang yakin adalah bahwa darah saudari benar-benar berhenti pada saat Isya, pada saat Magrib darah masih diragukan berhenti atau tidak. Berarti yang diakui adalah bahwa saudari suci pada saat Isya, bukan pada saat Magrib. Jadi saudari dikenakan kewajiban salat Isya saja tidak perlu menjamak dengan salat Magrib.    

2. Sedangkan untuk darah yang keluar di luar kebiasaan, bahkan hanya saat buang air kecil, maka seperti penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis kepada Ummu Habibah dan Fatimah Binti Abu Hubaisy di atas, yaitu bahwa darah haid itu seperti kebiasaan haid sebelumnya. Jika di luar kebiasaan, maka itu bukan haid dan tetap salat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menerangkan bahwa haid itu warnanya hitam dan sudah diketahui sebagaimana dalam hadis berikut:

Baca juga:  Tidak Puasa karena Haid dan Nifas

عَنْ عَائِشَةَ ، أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ دَمَ الْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِذَا كَانَ الْآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي. [صحيح ابن حبان]

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy mengalami istihadhah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya darah haid itu hitam dan dikenal, maka jika begitu tinggalkanlah salat, namun jika selain itu maka wudhulah dan salatlah’.” [Sahih Ibnu Hibban]

Dari hadis tersebut kami meyakini bahwa setiap perempuan pasti bisa mengenali darah haidnya. Dan jika ada kejanggalan pasti dia juga dapat mengenalinya, seperti yang saudari alami saat ini. Oleh karena itu, kami sarankan sebaiknya saudari berkonsultasi ke dokter, untuk mendapat kepastian lebih apa yang terjadi. Karena seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas bahwa darah haid adalah seperti kebiasaan dan dapat dikenali, selain itu adalah kelainan atau penyakit.

Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat.

Wallahu alam bish-shawab.

Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No.13, 2013

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button