IbadahRamadhan

Puasa Bagi Perempuan Haid

Pertanyaan:

Dalam SM No. 4 Th. ke-79 edisi 16-28 Februari 1994, halaman 31 uraian Drs. Dalimi Lubis, memberikan kesan pada wanita di akhir uraiannya, seakan para ibu-ibu yang selama ini meninggalkan puasa dan menyaur/mengganti di hari yang lain keliru dan harus bertobat mumpung tobat dan keampunan Allah belum tertutup. Karena menurut tuntunan PP Muhammdiyah dalam maklumatnya menjelang Ramadhan bahwa berhaidh termasuk halangan. Mohon penjelasan yang sebenarnya. (Iba-iba Airyab Ranting Sapen, Yogyakarta)

Jawaban:

Uraian Sdr. Dalimi dalam rubrik artikel tersebut pada SM No. 4 Th. ke-79 edisi 16-28 Februari 1994, merupakan pendapat hasil pemahaman pribadinya terhadap dalil-dalil yang ada.

Mengenai tuntunan puasa yang disebutkan dalam maklumat PP Muhammadiyah No. 1/1994, berpedoman pada ketetapan PP Muhammadiyah berdasarkan Muktamar Tarjih tahun 1939 di Medan, dan belum pernah dibicarakan ulang. Artinya tetap berlaku dan begitulah faham Muhammadiyah tentang kedudukan wanita haidh mendapat rukhshah sehingga boleh tidak berpuasa dan boleh menyaur di hari lain, tetapi wanita yang berhaidh atau bermenstruasi tidak boleh mengerjakan puasa dan wajib menyaur di hari yang lain. Kedudukan haidh adalah mani’ (halangan) bukan rukhshah (keringanan). Kedudukan rukhshah seperti sakit dan bepergian, pada umumnya ulama memahami bahwa yang bersangkutan dibolehkan melakukan puasa kalau tidak memberatkan.

Mengenai dalil yang dijadikan dasar oleh Majlis Tarjih adalah Hadits riwayat dari Abi Sa’id al-Khudry yang menjelaskan tentang kekurangan wanita dibanding pria, antara lain berbunyi:

أليسَ إذا حاضَتْ لَمْ تُصَلِّ ولَمْ تَصُمْ قُلْنَ: بَلى

Artinya: Bukankah wanita itu bila sedang haidh tidak shalat dan tidak puasa? Jawab mereka (para wanita) “Ya demikianlah”. (HR. Al-Bukhari).

Dari Hadits di atas dapat difahami bahwa wanita di zaman Nabi, dikala haidh tidak melakukan puasa.

Dalam pada itu, dalam Hadits lain bahwa orang yang haidh tidak melakukan puasa diperintahkan menyaur di hari lain, sebagaimana Hadits riwayat Muslim dari Mu’adzah. Hadits itu disebut Hadits mauquf bihukmil marfu, yang dalam qarar tarjih dapat diterima sebagai hujjah. Hadits itu selain diriwayatkan oleh Muslim juga diriwayatkan oleh segolongan ahli Hadits, berbunyi:

عن معاذة قالت: سَأَلْتُ عائِشَةَ فَقُلتُ: ما بالُ الحائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ، ولا تَقْضِي الصَّلاةَ. فَقالَتْ: أحَرُورِيَّةٌ أنْتِ؟ قُلتُ: لَسْتُ بحَرُورِيَّةٍ، ولَكِنِّي أسْأَلُ. قالَتْ: كانَ يُصِيبُنا ذلكَ، فَنُؤْمَرُ بقَضاءِ الصَّوْمِ، ولا نُؤْمَرُ بقَضاءِ الصَّلاةِ

Artinya: dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa wanita haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ salat?’ Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah?’ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu mengalami haid, kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan mengqadha’ salat’. (HR. Muslim)

Dalam uraian Drs. Dalimi, mengartikan qadha pada Hadits riwayat Mu’adzah di atas dengan arti “ada’a” yang diartikan melaksanakan. Kata qadha mempunyai beberapa arti, ini yang perlu difahami. Di antara arti qadha adalah menunaikan, menyampaikan, telah atau mati, juga qadha dapat berarti membayar hutang atau hutang, apabila qadha itu dihubungkan dengan hutang, seperti pada Hadits Nabi riwayat ad-Daurquthny:

قَضَاءُ رَمَضَانَ إِنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإِنْ شَاءَ تَابَعَ ( رواه الدارقطني )

Artinya: Mengqadha Ramadhan (mengganti puasa yang ditinggalkan) dapat dipisah-pisah kalau menghendaki dan boleh disambung-sambung yakni berturut-turut.

Demikian pula kata qadha digunakan dalam menunaikan hutang puasa, seperti tersebut pada riwayat sekelompok ahli Hadits dari Ibnu ‘Abbas, juga untuk arti menunaikan ganti sesuatu yang dihutang, seperti Hadits riwayat al-Bukhari:

رَحِمَ اللهُ عبدًا سَمْحًا إذا باعَ، سَمْحًا إذا اشْتَرى، سَمْحًا إذا قَضى، سَمْحًا إذا اقْتَضى ( رواه البخاري)

Baca juga:  Konsumsi Pil di Saat Puasa

Artinya: Allah (selalu) memberi rahmat pada seseorang hamba (bersikap) mudah apabila menjual barang, mudah apabila membeli, mudah menyaur hutang dan mudah pula bila menagih hutang. (HR. al-Bukhari).

Kesimpulannya, wanita yang menstruasi tidak boleh berpuasa tetapi wajib mengganti di hari lain. Demikian menurut Qarar Muktamar Tarjih dengan berdasarkan Hadits riwayat al-Bukhari yang menyatakan bahwa wanita bila haidh tidak shalat dan tidak puasa. Adapun dasar menggantikannya, seperti riwayat Jamaah Ahli Hadits, bahwa ‘Aisyah diperintahkan mengganti hutang puasanya dan tidak disuruh mengganti shalatnya dengan mengartikan qadha adalah menyaur seperti pada beberapa Hadits seperti tersebut di muka.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button