Pertanyaan:
Masjid saya mau disewa provider selular untuk dibangun menara BTS di atas menara masjid. Mohon penjelasan hukum secara syar’i.
Terima kasih.
Pertanyaan Dari:
Saudara Nurudin, no hp 08773939xxxx, Takmir Masjid di Kotagede Yogyakarta
(disidangkan pada hari Jum’at, 29 Jumadilakhir 1434 H / 10 Mei 2013)
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan saudara. Untuk menjawab masalah ini, kami mulai dari pengertian masjid. Secara bahasa, masjid adalah tempat sujud, adapun secara syar’i, masjid adalah tempat yang dipersiapkan untuk digunakan shalat lima waktu secara berjamaah oleh kaum muslimin. Akan tetapi, terkadang masjid mempunyai arti yang lebih luas dari itu. Oleh karenanya, tempat yang dijadikan oleh seseorang di rumahnya untuk melaksanakan shalat sunnah atau shalat wajib karena dia tidak mampu untuk shalat di masjid, yang orang-orang mendirikan shalat berjamaah di dalamnya, dapat dinamakan masjid pula.
Di antara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ وَ جُعِلَتْ لِي اْلأَرْضُ مَسْجِدًا وَ طَهُوْرًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلّ
Artinya: “Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada seorang pun sebelumku: aku dimenangkan dengan perasaan takut yang menimpa musuhku dengan jarak sebulan perjalanan, bumi dijadikan bagiku sebagai masjid dan suci, siapa pun dari umatku yang menjumpai waktu shalat maka shalatlah ia.”
Di kalangan ulama dikenal istilah ar-rahbah, yakni tempat, halaman atau bagian dari masjid. Pada masjid-masjid sekarang, yang termasuk ar-rahbah adalah teras atau serambi yang bersambung dengan masjid, halaman yang juga ditegel dan bersambung dengan masjid, baik lantainya maupun atapnya, baik dipakai untuk shalat maupun tidak. Pendapat yang kuat di kalangan ulama adalah bahwa ar-rahbah merupakan bagian dari masjid -yang berlaku padanya hukum-hukum masjid- selama dia masih bersambung (lantai atau atapnya) dengan masjid. Jika dia terpisah dari masjid, maka dia bukan bagian dari masjid dan tidak mendapatkan hukum masjid, misalnya menara masjid (Asy-Syaikh Musthafa bin Saad as-Suyuthi ad-Dimasyqi, Mathalib Ulin Nuha fi Syarh Ghayat al-Muntaha, II: 234)
Sebagaimana kaidah fiqh yang berbunyi:
الْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيْمٌ لَهُ
Artinya: “Sekelilingnya sesuatu memiliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu tersebut.” [al-Asybah wa an-Nazha’ir: as-Suyuthi]
Tentang menara BTS (Base Transceiver Station) milik salah satu provider selular yang akan dibangun di atas menara masjid dengan cara menyewa, berdasarkan pengertian di atas hukum asalnya adalah mubah (boleh), asal telah memenuhi syarat-syarat umum pendiriannya. Namun demikian perlu dipertimbangkan kemungkinan munculnya berbagai mafsadah dan dampak negatif di kemudian hari, mengingat masjid adalah rumah Allah yang suci, tempat orang-orang beribadah kepada Allah, sehingga alangkah baiknya menara yang merupakan bagian dari masjid tersebut tidak disewakan. Hal ini berdasarkan pada kaidah fiqh:
دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ
Artinya: “Mencegah terjadinya kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.”
Juga berdasarkan pada salah satu prinsip dalam hukum Islam, yaitu سد الذريعة (sadd adz-szari’ah), yakni upaya preventif untuk menutup atau mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan. Oleh karena itu, menurut hemat kami tidak perlu saudara atau takmir masjid di tempat saudara menyewakan menara masjid untuk dibangun di atasnya menara BTS.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No. 16, 2013