Ibadah

Mencium Hajar Aswad, Pakaian Haji dan Hukum Kentut Saat Wukuf

Pertanyaan:

1) Berapa kali orang yang berhaji mencium hajar aswad?
2) Bolehkan orang berpakaian ihram, memakai celana dalam?
3) Pada waktu thawaf atau sa’i, dan lain-lain mengeluarkan angin (kentut) haruslah diulang mulai awal? (Fachruddin, Jl. Gatot Subroto, Malang).

Jawaban:

1. Tidak ada ketentuan berapa kali kita harus mencium hajar aswad ketika thawaf. Hanya kalau kita perhatikan beberapa Hadis Nabi saw. merupakan tuntunan untuk mencium hajar aswad ketika memulai thawaf, kalau keadaan memungkinkan (tidak penuh sesak). Kalau tidak dapat mencium hajar aswad, dapat dengan, mengusap hajar aswad itu saja. Bahkan cukup dengan mengacungkan atau mengusapkan tangan atau tongkat ke arah hajar aswad dan kemudian kita mencium tangan atau tongkat itu. Demikian yang dapat kita fahami dari beberapa Hadis yang sahih.

2. Pakaian laki-laki dalam berhaji ditentukan, yaitu dua helai kain putih tanpa berjahit. Boleh memakai celana dalam yang tidak berjahit, yakni kain cawat yang ditalikan pada perut dengan tali yang ada pada ujungnya tidak disimpulkan seluruhnya (tali-pati=Jawa) tetapi kalau ditarik ujung tali itu dapat lepas.

3. Dalam ihram, yaitu tahap awal melakukan haji atau umrah harus dalam keadaan suci dari hadas besar atau kecil. Pantangan-pantangan selama itu juga telah ditentukan. Selama menjalani ihram ada yang harus dilakukan dalam keadaan suci dari hadas, seperti shalat sunnah dan sebagian besar pendapat ulama juga pada waktu thawaf. Dalam melakukan ihram ada yang tidak harus dalam keadaan suci dari hadas kecil seperti pada waktu wukuf di Arafah dan wukuf melempar jumrah.

Adapun waktu ihram dan menjalankan thawaf, ada yang mengharuskan suci dari hadas besar dan kecil. Kalau kentut berarti bathal wudhunya, maka harus mengulang wudhunya karenanya menyamakan thawaf itu dengan shalat. Dalam HPT memang tidak ditegaskan harus mengulang atau tidak, bila orang yang sedang thawaf berhadas kecil seperti kentut. Dalam dalil yang dijadikan alasan ialah ayat yang bertalian dengan larangan masuk masjid dan mengerjakan shalat dalam keadaan haid dan junub, yang tersebut pada Surat An Nisa’ ayat 43:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗ

Artinya: “Hai orang yang beriman, janganlah kamu mengerjakan shalat selagi kamu mabuk, sampai kamu mengerti apa yang kamu katakan (sadar). Demikian juga selagi kamu junub sehingga kamu mandi dahulu, kecuali bagi orang yang hanya lewat (di masjid)”.

Juga Hadis riwayat Abu Dawud dari Aisyah sebagai berikut:

لحديث عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله ﷺ: إني لا أُحِلُّ المسجِدَ لحائِضٍ ولا جُنُبٍ

Artinya: Dan menilik Hadis Aisyah ra. katanya, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Aku tidak menghalalkan masjid untuk orang yang sedang haid dan juga untuk orang yang berjunub.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan oleh Ibnu Hazaimah).

Dalam pada itu kita dapat mengamati Hadis-hadis lain, seperti Hadis riwayat At Tirmidzy, Al Hakim dan Al Baihaqy dari Ibnu Abbas dengan nilai hasan, yang menyebutkan kebolehan berbicara dalam thawaf, tentu saja dengan pembicaraan yang baik.

الطوافُ بالبيتِ صلاةٌ ولكنَّ اللهَ أحلَّ فيه المَنطِقَ فمنْ نطَق فلا ينطِقْ إلا بخيرٍ

Artinya: “Thawaf di Baitullah adalah seperti shalat, tetapi Allah membolehkan berbicara. Maka siapa yang berbicara (dalam thawaf) maka jangan berbicara kecuali yang baik.” (HR. Ath Thabarany, Al Hakim dan Al Baihaqy, dan Abu Nu’aim dalam hulliah, dengan nilai hasan).

الطَّوَافُ حَوْلَ الْبَيْتِ مِثْلُ الصَّلَاةِ إِلَّا أَنَّكُمْ تَتَكَلَّمُونَ فِيهِ فَمَنْ تَكَلَّمَ فِيهِ فَلَا يَتَكَلَّمَنَّ إِلَّا بِخَيْرٍ

Artinya: “Thawaf sekitar Baitullah seperti shalat. Kecuali kamu sekalian (dibolehkan) berbicara di waktu thawaf itu, maka siapa yang berbicara di waktu thawaf itu jangan berbicara kecuali dengan bicara yang baik.” (HR. At Tirmidzy, Al Hakim dan Al Baihaqy dari Ibnu Abbas dengan nilai hasan).

Baca juga:  Hukum Badal Haji

Melihat Hadis-hadis di atas dan juga Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah yang mengatakan, bahwa Nabi saw. pertama-tama yang dilakukan ketika masuk kota Makkah adalah mengambil air wudhu yang kemudian thawaf. Maka seorang yang melakukan thawaf haruslah suci dari hadas kecil maupun besar. Dan apabila bathal wudhunya, maka harus wudhu lagi dan melanjutkan kekurangannya, tidak usah mengulangi dari permulaan. Karena dalam thawaf dapat diselingi dengan perbuatan lain, seperti shalat ketika ada panggilan (iqamah) atau istirahat ketika merasa lelah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan ‘Atha’ dalam Fiqhus Sunnah.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button