Haji dan UmrahIbadahJumat

Ketentuan Hari Raya yang Jatuh pada Hari Jumat dan Maksud Haji Akbar

Pertanyaan:

Berkenaan dengan perkiraan datangnya Idul Adha 1417 H pada hari Jum’at, bagaimana pelaksanaan salat Jum’at di hari raya tersebut? Apa pula yang dimaksud dengan Haji Akbar?

Pertanyaan dari Zachroni Chudori & Syamsulhadi (Sekretaris dan Ketua PCM Kotagede, Yogyakarta)

Jawaban:

Permasalahan hari raya (baik idul fitri maupun idul adha) yang jatuh pada hari jumat sudah pernah ditanyakan dan dijawab dalam SM tahun lalu, selanjutnya dapat dibaca kembali dalam buku Tanya Jawab Agama jilid II halaman 114, penerbit Suara Muhammadiyah tahun 1992. Kemudian pada tahun 1995 permasalahannya tersebut dibahas lagi oleh Majlis Tarjih karena hari raya Idul Fitri tahun 1415 H/1995 M diperkirakan akan jatuh pada hari Jum’at tanggal 3 Maret 1995. Hasilnya dimuat dalam surat Majelis Tarjih PP Muhammdiyah No. 19/C.I/MT PPM/1995 tanggal 15 Ramadan tahun 1415 H/15 Februari 1995 M. Intinya dapat dikemukakan sebagai berikut.

Ada beberapa hadis yang menerangkan adanya keringanan untuk tidak melakukan salat jum’at bagi orang yang sudah melaksanakan salat Id. Tetapi hadis-hadis tersebut ada yang dinilai lemah, karena ada perawinya yang tidak dikenal,yaitu hadis riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Ilyas bin Abi Ramlah. Ada juga yang dinilai sebagi hadis mursal, yaitu hadis riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Disamping itu ada juga hadis yang dinilai sahih, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Nasa’i dari Abu Dawud. Hadis tersebut sebagai berikut:

 حَدَّثَنِي وَهْبُ بْنُ كَيْسَانَ، قَالَ: «اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ حَتَّى تَعَالَى النَّهَارُ، ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ الْخُطْبَةَ، ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى وَلَمْ يُصَلِّ لِلنَّاسِ يَوْمَئِذٍ الْجُمُعَةَ»، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ: أَصَابَ السُّنَّةَ(رواه النسائ و أبو داود)

Baca juga:  Puasa Arafah, Haruskah Bertepatan Dengan Wukuf?

Hadis diriwayatkan dari Wahab bin Kasan, ia berkata: telah bertepatan dua hari raya (Jum’at dan hari raya) di masa Ibnu Zubair, dia berlambat-lambat ke luar, sehingga matahari meninggi. Di ketika matahari telah tinggi, dia pergi keluar ke mushalla, lalu berkhutbah, kemudian turun dari mimbar kemudian sembahyang. Dan dia tidak bersembahyang untuk orang ramai pada hari Jum’at itu (dia tidak mengadakan sembahyang Jum’at lagi). Saya terangkan yang demikian ini kepada Ibnu Abbas. Ibnu Abbas berkata: perbuatanya itu sesuai dengan sunnah.

Hadis lainnya adalah menerangkan bacaan salat Nabi ketika hari raya jatuh pada hari Jum’at, yaitu sebagai berikut:

 عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ، وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ»، قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ، فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ، يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِي الصَّلَاتَيْنِ (رواه الجمعة الا البخرى و ابن ماجه)

Diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir ra ia berkata: Nabi saw selalu membaca pada sembahyang kedua hari raya dan sembahyang jum’at: Sabbihisma rabbikal a’la dan hal ataka hadisul ghasiyah. Apabila berkumpul hari raya dan jum’at pada satu hari, Nabi saw membaca surat-surat itu di kedua-dua sembahyang.

Menurut Majels Tarjih memahami riwayat yang pertama, timbul kesan apabila hari raya jatuh pada hari jum’at tidak perlu dilakukan salat jum’at. Pemahaman yang demikian adalah belum selesai, mengingat adanya hadis yang kedua, yang diriwayatkan oleh segolongan ahli hadis termasuk Muslim, kecuali al-Bukhari dan Ibnu Majah. Dari riwayat kedua melalui pemahaman isyaratun nash, dapat dipahami bahwa nabi saw pada hari raya tetap melakukan salat Jum’at.

Baca juga:  Hukum Makmum Masbuk Membuat Jamaah Baru

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa Nabi saw melakukan salat jum’at sekalipun hari itu bertepatan dengan hari raya yang jatuh pada hari jum’at. Adapun keringanan yang disebut pada riwayat yang pertama adalah merupakan keringanan bagi orang yang sangat jauh dari kota untuk menuju tempat shalat hari raya dan sahalat jum’at di kala itu. Sehingga apabila seseorang harus bolak-balik, yaitu pulang dari salat Id lalu kembali lagi untuk salat Jum’at padahal tempat tinggalnya jauh, akan mengalami kesukaran dan kepayahan.

Atas dasar ini Majelis Tarjih menyimpulkan bahwa bila hari raya jatuh pada hari jum’at, Nabi saw melaksanakan salat hari raya dan melaksanakan salat jum’at. Oleh karenannya seluruh warga Muhammadiyah hendaknya tetap melaksanakan salat jum’at pada hari raya, di masjid-masjid yang mudah dijangkau pada siang harinya setelah pada pagi harinya melaksanakan salat Id.

Mengenai Haji Albar, secara tekstual lafaznya terdapat dalam Al-Qur’an surat at-taubah ayat 3:

وَأَذَانٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ ۙ وَرَسُولُهُ (التوبة: ۳)

Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. [QS. At-Taubah: 3]

At-tabari menambahkan riwayat dari Abu Juhaifah:

أنَّ يوم الحج الأكبر يوم عرفة

Bahwa haji akbar ialah Hari Arafah

Rasyid Ridha mengatakan:

أّقولُ: وقد كان يوم عرفة عام حجة الوداع يوم الجمعة

Saya berpendapat bahwa benarlah keterangan bahwa hari arafah itu pada tahun terjadinya haji wada’ adalah hari jum’at.

Rasyid Ridha menambahkan bahwa orang awam menamakan tiap tahun yang terjadi wukuf di Arafah pada hari jum’at disebut haji Akbar.

Baca juga:  Hukum Bacaan Basmalah di Awal Al-Fatihah dalam Shalat

Keterangan lebih terperinci mengenai hal haji akbar ini dapat saudara baca dalam buku Tuntunan Manasik Haji yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih dan PP Aisyiyah.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button