Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum w. w.
Sebuah masjid didirikan di lahan jalur hijau yang mana pendirian masjid tersebut belum/tidak mendapat izin dari pemerintah kota (bisa dikatakan ilegal). Bagaimana pengaruhnya dengan keabsahan para jamaah yang beribadah atau shalat di masjid tersebut? Mohon jawabannya karena saat ini sedang terjadi konflik antar sesama jamaah.
Terima kasih atas perhatian dan jawabannya.
Pertanyaan Dari:
Suryadi, Jama’ah Pengajian PRM Lontar Surabaya
(Disidangkan pada hari Jum’at, 24 Shafar 1435 H / 27 Desember 2013 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam w. w.
Terima kasih atas kepercayaan Bapak kepada kami untuk menjawab pertanyaan yang Bapak ajukan. Sebelum menjawab pertanyaan Bapak, terlebih dahulu kami akan menyampaikan mengenai definisi lahan hijau.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, lahan hijau adalah daerah (tempat, lapangan) yang ditanami rumput dan tanaman perindang yang berfungsi menyegarkan hawa di kota, tidak boleh digunakan untuk bangunan, perumahan, dan sebagainya. Sedangkan dalam Undang-undang RI No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 ayat (31) disebutkan bahwa, “Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam”.
Bab II Asas dan Tujuan Pasal 3 dijelaskan: Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
- terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
- terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
- terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Berdasarkan keterangan pada Pasal 1 dan Pasal 3 UU Nomor 26 tahun 2007 di atas, dapat dipahami bahwa jalur hijau itu merupakan area yang mempunyai fungsi tersendiri dan tidak boleh digunakan untuk mendirikan bangunan, termasuk masjid. Dalam kasus ini, kendala izin pembangunan bisa saja dilatarbelakangi oleh faktor penggunaan lahan yang tidak tepat dan sesuai.
Adapun mengenai pembangunan masjid selama tempat tersebut bukan makam yang diharamkan sebagai tempat membangun masjid dan tempat itu pun suci, maka hal tersebut tidak mempengaruhi sah tidaknya shalat atau ibadah yang dilakukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ ذَكَرَتْ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَنِيسَةً رَأَتْهَا بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ يُقَالُ لَهَا مَارِيَةُ فَذَكَرَتْ لَهُ مَا رَأَتْ فِيهَا مِنْ الصُّوَرِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيهِمْ الْعَبْدُ الصَّالِحُ أَوْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ.
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwa Ummu Salamah menceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai sebuah gereja yang dia lihat di suatu tempat di negeri Habasyah yang disebut Mariyah, kemudian dia ceritakan apa yang dilihatnya bahwa di dalamnya ada gambar patung. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda; Mereka adalah suatu kaum yang jika ada hamba shalih atau laki-laki shalih dari mereka meninggal, mereka membangun masjid di atas kuburannya dan membuatkan patung untuknya. Maka mereka itulah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah” [HR. al-Bukhari].
أَخْبَرَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً.
Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami Jabir bin Abdullah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada orang sebelumku; aku ditolong melawan musuhku dengan ketakutan mereka sejauh satu bulan perjalanan, dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan suci, maka di mana saja salah seorang dari umatku mendapati waktu shalat hendaklah ia shalat, dihalalkan untukku harta rampasan perang yang tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku, aku diberikan (hak) syafa’at, dan para Nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia” [HR. al-Bukhari].
Berdasarkan hadis di atas, lahan hijau tidak termasuk tempat yang diharamkan oleh nash untuk dijadikan sebagai masjid. Namun dalam rangka mencegah kemadaratan, seperti pelanggaran terhadap aturan undang-undang yang berkaitan dengan penataan ruang, kemungkinan terjadinya konflik, penggusuran masjid, dan lain lain, maka dari itu pihak pengurus pembangunan masjid hendaknya memperhatikan peraturan pemerintah kota terkait tata ruang kota dengan tidak mendirikan masjid di area lahan hijau.
Adapun penyelesaian untuk kasus ini adalah dengan melakukan musyawarah antara pengurus masjid dan pemerintah kota untuk mendapatkan solusi terbaik, yaitu dengan cara memindahkan area masjid ke tempat yang representatif (sama dari segi fasilitas dan kapasitasnya).
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah No. 15, 2014