Lain-Lain

Hukum Politik Uang (Money Politics) pada Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum w.w.

Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah melaksanakan kegiatan “Forum Group Discussion” dengan Tema “Panduan Warga Muhammadiyah Menghadapi Politik Uang dalam Pemilu Serentak 2024”. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dengan ini kami menyampaikan permohonan kepada Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah agar dapat memberikan Fatwa untuk pertanyaan kami yaitu: Bagaimana hukum Islam terhadap praktik politik uang pada Pemilu Serentak 2024, baik hukum untuk pemberi maupun penerimanya?

Wassalamu ‘alaikum w.w.

Pertanyaan Dari:
Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah
(Disidangkan pada Senin, 12 Safar 1445 H/28 Agustus 2023 M, 10 Rabiulawal 1445 H/25 September 2023 M dan 5 Jumadilakhir 1445 H/18 Desember 2023 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam w.w.

Terima kasih kami sampaikan atas pertanyaan yang diajukan kepada Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Berikut ini kami uraikan jawaban atas pertanyaan tersebut.

Pemilihan umum (pemilu) adalah fondasi penting dari setiap negara demokrasi, termasuk Indonesia. Fungsi utama pemilu adalah untuk memilih pemimpin atau wakil rakyat yang akan memegang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dengan pemilu, warga negara memiliki hak suara yang berpengaruh dalam menentukan masa depan negara. Beberapa alasan mengapa pemilu sangat penting dalam konteks negara demokrasi ialah, Pertama, pemilu memberi kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin. Pemimpin yang dipilih akan membuat kebijakan penting yang nantinya memengaruhi kehidupan sehari-hari warga negara, seperti kebijakan dalam hal pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi. Kedua, pemilu memberi platform bagi warga negara untuk menyuarakan pendapat dan aspirasi. Melalui pemilu, warga negara dapat menunjukkan dukungan atau ketidaksetujuan terhadap kebijakan tertentu atau arah politik negara.

Ketiga, pemilu mendorong partisipasi publik dalam proses politik. Dengan berpartisipasi dalam pemilu, warga negara dapat berperan aktif dalam demokrasi dan terlibat dalam menentukan arah dan masa depan negara. Keempat, pemilu menjamin akuntabilitas pemimpin dan partai politik. Jika pemimpin atau partai politik tidak memenuhi janji mereka atau tidak baik performanya, warga negara dapat memilih untuk tidak memilih mereka dalam pemilu berikutnya. Kelima, pemilihan umum yang adil dan bebas mempromosikan stabilitas politik dan kedamaian. Dengan memberikan saluran sah untuk perubahan kekuasaan, pemilu dapat membantu mencegah konflik dan kekerasan politik.

Namun demikian, dalam praktiknya pemilu tidak dapat lepas dari fenomena politik uang (money politics), sebagaimana teori “Rasional Pilihan” dalam disiplin ilmu Psikologi, bahwa individu akan membuat keputusan berdasarkan keuntungan (manfaat) dan kerugian yang didapatkan. Dalam konteks pemilu, bagi pemilih mungkin memilih kandidat yang memberikan imbalan langsung (seperti uang atau hadiah), daripada kandidat yang menjanjikan kebijakan jangka panjang yang mungkin tidak langsung memberi manfaat bagi pemilih. Sedangkan bagi politisi pelaku, politik uang dianggap dapat meningkatkan jumlah pemilih yang akan membuatnya terpilih atau menambah suara untuk partainya.

Saat ini Indonesia sudah dalam titik darurat politik uang mengingat Ketua KPU sendiri mengakui bahwa pada Pemilu tahun 2019 saja jumlah pemilih yang mengalami politik uang mencapai 33% dari keseluruhan pemilu (https://www.antaranews.com/berita/2437257/kpu-ingatkan-bahayanya-politik-uang-terhadap-demokrasi). Padahal penelitian yang dilakukan oleh Almas Ghaliya dari KPK menunjukkan hubungan erat antara suap dengan naiknya biaya politik di Indonesia yang kemudian memasifkan praktik korupsi. (https://lib.ui.ac.id/m/detail.jsp?id=20498044&lokasi=lokal).

Studi lain menunjukkan bahwa agenda peningkatan integritas politik elektoral Indonesia dihambat oleh maraknya politik uang (Aspinall, E., dan Berenschot, W. (2019). Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Ithaca: Cornell University Pres). Kasus mutakhir adalah Operasi Tangkap Tangan terhadap Bowo Sidik Pangarso dimana KPK juga menemukan 400 ribu amplop dengan total 8 miliar rupiah yang siap digunakan Bowo untuk “serangan fajar” pemilu (Detik.com, 29/03/2019). Data terbaru yang dirilis oleh Populi Center Public Opinion dan Policy Research bahkan menunjukkan bahwa hasil survey publik terkait “Kekhawatiran Terkait Jalannya Pemilu”, kekhawatiran adanya politik uang menduduki persentase tertinggi dibandingkan kekhawatiran yang lain (https://populicenter.org/2023/11/09/survei-nasional-road-to-2024-elections-starting-point-posisi-elektoral-jelang-kampanye-pemilu-2024/).

Adanya politik uang dalam pemilu memiliki dampak dan akibat yang kompleks serta beragam. Pertama, politik uang berpotensi besar merusak mental masyarakat. Kerusakan mental ini dibuktikan dari rusaknya paradigma bangsa. Politik uang mengajarkan sebuah sistem yang tidak baik, di mana ada proses jual beli suara pemilih menggunakan uang/materi lainnya. Bahwa kemenangan politik dapat diraih menggunakan uang/materi yang mengesampingkan kualitas, kapasitas dan kapabilitas calon atau peserta pemilu. Kedua, menghasilkan manajemen pemerintahan yang korup. Pengisian jabatan politik dalam pemerintahan yang lahir dari proses korupsi politik secara langsung akan berdampak pada pemerintahan yang korup pula. Hal ini disebut dengan investive corruption (korupsi investif), yaitu ketika politisi yang terpilih lebih mengutamakan kepentingan para donatur dengan memberi banyak keistimewaan dibandingkan kepentingan rakyat (lihat https://jurnal.banten.bawaslu.go.id/index.php/awasia/article/view/56/38).

Politik uang mencerminkan sinisme pemilih yang tak mampu berbuat apa pun terhadap integritas kandidat, kecuali menjual suara mereka pada harga tertinggi. Dengan kata lain, buruknya proses seleksi kepemimpinan di partai politik menjadi bagian yang tidak mungkin dipisahkan dari munculnya kepemimpinan politik yang tidak diharapkan namun prosesnya ini tidak dapat ditolak masyarakat. Kondisi tersebut didukung oleh hasil survey Transparency International tahun 2022 yang menyatakan bahwa Corruption Perception Index (CPI) Indonesia berada di angka 34/100 peringkat 110 dari 180 negara yang disurvey. Skor ini turun 3 poin dari tahun 2020 lalu yang berada pada skor 37/100 dengan peringkat 102 dari 180 negara (https://www.transparency.org/en/countries/indonesia)

Politik uang (money politics/al-māl as-siyāsi), secara sederhana dapat diartikan sebagai praktik distribusi uang, baik tunai maupun dalam bentuk barang, dari kandidat kepada pemilih pada saat Pemilu. Lebih lengkap, politik uang adalah pemberian uang tunai, barang, jasa dan keuntungan ekonomi lainnya (seperti pekerjaan atau kontrak proyek) yang didistribusikan oleh politisi, termasuk keuntungan yang ditujukan untuk individu (misalnya amplop berisi uang tunai) dan kepada kelompok/komunitas (misalnya lapangan sepakbola baru untuk para pemuda di sebuah kampung). Politik uang juga bisa berupa uang tunai atau barang yang didistribusikan kepada pemilih berasal dari dana pribadi, misalnya dalam pembelian suara, atau dari dana publik/negara, misalnya proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah (Aspinall, E., & Sukmajati, M. (Eds.), (2016), Electoral Dynamics in Indonesia: Money Politics, Patronage and Clientelism at the Grassroots, NUS Press.)

Politik uang dapat disebut pula sebagai upaya untuk memengaruhi massa/pemilih dalam pemilu dengan imbalan materi berupa pemberian langsung uang tunai, pemberian bantuan/sumbangan barang, pemberian bahan pokok berupa sembako, dan memberi serta menjanjikan iming-iming sesuatu untuk mendapatkan keuntungan politik, atau juga disebut dengan istilah politik transaksional (lihat Money Politik Pada Kepemiluan di Indonesia, M. Eza Helyatha Begouvic, Fakultas Hukum, Universitas Kader Bangsa, dalam Sol Justicia, Vol. 4 No. 2, Desember 2021, pp.105-122). Politik uang juga dapat diartikan sebagai upaya memengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya (https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20230217-waspadai-bahaya-politik-uang-induk-dari-korupsi).

Pada dasarnya, politik uang, meskipun definisinya tidak disebutkan secara spesifik, praktiknya dilarang secara tegas dalam peraturan perundangan di Indonesia. Dalam Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004, UU No. 42 Tahun 2008, UU No. 8 Tahun 2012 dan yang terakhir UU No. 7 Tahun 2017. Dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 280 ayat (1) disebutkan bahwa pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.

Adapun ancaman hukumannya terdapat dalam Pasal 515, yaitu, setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Secara lebih rinci, dalam Pasal 523 ayat (1) sampai dengan (3) juga memuat ancaman hukuman atas tindak pidana politik uang tersebut.

Dalam literatur keislaman, istilah yang sepadan dengan politik uang adalah istilah risywah (suap, sogok, atau rasuah). Merujuk pada kamus Lisan al‘Arab dan Mu’jam alWasith disebutkan bahwa risywah berarti: pemberian kepada seseorang untuk tujuan atau kepentingan tertentu. Para ulama, semisal al-Jurjāni, mendefinisikan risywah dengan ungkapan ‌مَا ‌يُعْطَى لِإِبْطَالِ حَقٍّ أَوْ لِإِحْقَاقِ بَاطِلٍ (Sesuatu yang diberikan untuk membatalkan kebenaran atau untuk merealisasikan kebatilan [lihat at-Ta’rīfāt, hlm. 111]). Adapun as-Shan’ani, dalam kitabnya Subul as-Salam, menyebutkan risywah adalah “upaya memperoleh sesuatu dengan memberikan sesuatu” (lihat HPT Jilid 3, terbitan Suara Muhammadiyah).

Sederhananya, politik uang atau risywah (suap, sogok, atau rasuah) dalam pemilu ialah “pemberian dalam bentuk apa pun kepada masyarakat atau pemilih dengan tujuan memengaruhi mereka agar memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu, baik menggunakan sumber dana dari perorangan, swasta maupun dana publik”. Hukum risywah ialah haram, bahkan termasuk dosa besar, sebagaimana disebutkan Ibnu Ḥajar al-Haitamī dalam kitab az-Zawājir dan disebutkan pula oleh para ulama lainnya. Di antara dalil yang menunjukkan keharaman risywah ialah firman Allah swt.:

وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيْقًا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ [البقرة، 2: 188].

Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui [QS al-Baqarah (2): 188].

Ayat ini dengan tegas melarang memakan harta secara batil dan melarang praktik suap. Hukum asal larangan ialah haram. Keharaman ini dipertegas lagi dalam hadis berikut,

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِىَ والْمُرْتَشِىَ [رواه أبو داود والحاكم].

Rasulullah saw. melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap [HR Abū Dāwūd no. 3580 dan al-Ḥākim no. 7066].

Kata “laknat” yang berarti “jauh dari kebenaran atau sesuatu yang tercela dan dikutuk” ini menunjukkan pengharaman. Dalam Himpunan Putusan Tarjih jilid ke-3 disebutkan: “Penyuapan merupakan perbuatan yang dilarang. Pelakunya tidak hanya yang menyuap, tetapi juga meliputi penerima suap dan perantara antara penyuap dan penerima suap.” Jadi, masyarakat yang menerima suap berarti sudah melakukan dosa besar meskipun nantinya tidak memilih sesuai yang dikehendaki pemberi suap. Begitu pula perantara dan semua pihak yang membantu terjadinya suap ini, termasuk pejabat yang diamanahi menyelenggarakan dan mengawasi pemilu bila terlibat atau membiarkan itu terjadi. Keharaman ini juga berlaku pula bagi pihak lain yang ingin menyuap masyarakat untuk memilih calon yang ia dukung, meskipun calon yang ia dukung tidak mengetahui praktik suap tersebut. Firman Allah swt.,

وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖ   وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ  اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ.

Janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya [QS al-Māidah (5): 2].

Bahkan sesuai dengan kaidah al-‘Ibratu fil ‘Uqūdi bil-Maqāṣidi wal-Ma’ānī lā bil-Alfāẓi wal-Mabānī” (yang menjadi barometer dalam akad ialah maksud dan maknanya, bukan lafal dan lahiriahnya), maka suap tetaplah suap sekalipun diistilahkan hibah, sumbangan, atau sejenisnya, dan hukumnya tetaplah haram. Keharaman suap juga berlaku sekalipun nominal pemberiannya kecil atau tidak berupa uang. Begitu pula sama saja hukumnya dalam pandangan fikih, perbuatan ini dilakukan di masa sosialisasi, di masa kampanye, di masa tenang, atau bahkan sebelum itu semua, sama-sama haram. Terlebih lagi politik uang yang mengambil sumber dana publik yang dimobilisasi untuk mendapatkan dukungan politik, bahkan sudah termasuk ke dalam kategori kejahatan/tindak pidana.

Politik uang juga terbukti menimbulkan berbagai kerusakan di masyarakat, terutama kerusakan mental/moral, sebagaimana telah disinggung pada paragraf sebelumnya. Masyarakat menjadi apatis, tidak peduli, yang penting mendapatkan sejumlah uang dan lain sebagainya. Mengenai ini, Allah swt. berfirman,

وَاِذَا تَوَلّٰى سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ  وَ اللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ.

Apabila berpaling (dari engkau atau berkuasa), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan [QS al-Baqarah (2): 205].

Al-Baidhawi dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa kerusakan yang tidak disukai oleh Allah, antara lain adalah kerusakan yang ditimbulkan oleh orang atau pemimpin munafik yang bengis dan zalim pada rakyatnya. Perilaku politik uang adalah salah satu bentuk kezaliman yang merusak kehidupan.

Namun begitu, para kontestan pemilu maupun tim suksesnya tetap dibolehkan menggunakan kekuatan finansialnya dalam berkampanye dan menggalang dukungan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia dengan tetap mempertimbangkan etika berpolitik. Hal ini sering disebut sebagai political cost atau biaya politik. Sebagai contoh, biaya untuk pembuatan alat-alat peraga kampanye seperti stiker, kaos, poster, baliho dan yang sejenisnya. Perlu ditegaskan di sini bahwa pemberian barang yang bukan alat peraga, meskipun nilainya tidak besar, tetap termasuk politik uang yang diharamkan sebagaimana penjelasan di atas. Boleh juga para calon memberikan imbalan, upah atau honorarium bagi timnya yang membantu pemasangan atau pembagian alat-alat peraga kampanye. Begitu pula, boleh masyarakat menyumbangkan bantuan finansial dan sejenisnya untuk membantu kampanye para calon sebab ini berbeda dengan definisi risywah di atas.

Adapun pendapat atau alasan bahwa politik uang dibolehkan untuk memenangkan calon yang baik dan menghadang calon yang buruk perlu diabaikan dalam keumuman konteks perpolitikan Indonesia yang sangat rawan subjektivitas dalam menerapkan pendapat ini. Dengan alasan saddu adz-dzari’ah, politik uang/suap/risywah/rasuah yang disebutkan di atas sudah semestinya diharamkan begitu saja dan tidak dilakukan pihak mana pun. ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb r.a. mengatakan, عَلَيْكَ بِالصِّدْقِ وَإِنْ قَتَلَكَ (Wajiblah engkau senantiasa jujur meskipun kejujuran itu membunuhmu). Beliau juga mengatakan, لَأَنْ يَضَعَنِيَ الصِّدْقُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ يَرْفَعَنِيَ الْكَذِبُ (Aku direndahkan dengan kejujuran lebih aku sukai daripada aku diangkat dengan kedustaan).

Selain kejelasan dalil-dalil syariat yang melarang adanya praktik politik uang di atas, perlu diingat bahwa politik uang telah melanggar maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh Allah dalam setiap hukum dari keseluruhan hukum-Nya). Pertama, hifzh ad-din (menjaga agama). Hal ini jelas dari penjelasan di paragraf sebelumnya. Kedua, hifzh an-nafs (menjaga jiwa), sebagaimana dijelaskan dalam dampak negatif politik uang bagi mentalitas masyarakat di paragraf sebelumnya. Ketiga, hifzh al-‘aql (menjaga akal), salah satu fungsi akal manusia adalah membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Politik uang mengakibatkan hilangnya sifat kejujuran. Kejujuran yang seharusnya menjadi modal utama bagi seorang pimpinan atau pemimpin di dalam memimpin lembaga atau negara akan hilang tergerus dengan kekuatan uang, bahkan lebih jauh lagi bahwa politik uang mengakibatkan berkurangnya kualitas sumber daya manusia yang terampil dan profesional dalam dunia kerja.

Keempat, hifzh an-nasl (menjaga keturunan), politik uang adalah sebuah mekanisme masif dan terstruktur yang membutuhkan banyak peran dan berdampak panjang ke depan. Artinya, budaya politik uang dengan segala dampak negatifnya akan diwarisi oleh generasi ke generasi dengan level kerusakan yang semakin parah. Kelima, hifzh al-mal (menjaga harta), hilangnya harta benda bagi orang yang memberikan uang tentu adalah sebuah keniscayaan. Padahal menurut Islam, uang dan harta harus digunakan di jalan yang diridai oleh Allah swt. Sementara bagi penerimanya berarti telah mendapatkan harta dengan cara yang batil dan mengundang laknat Allah swt.

Sebagai penutup, seluruh masyarakat wajib untuk menggalakkan gerakan amar ma`ruf nahi munkar demi menyetop tindakan-tindakan terlarang dalam proses Pemilu serentak 2024, misalnya dengan tidak menerima uang suap tetapi justru merekam kejadian dan barang bukti penyuapan lalu melaporkannya kepada pihak yang berwenang. Para ulama, ustaz dan dai pun harus menjadikan bahasan politik uang ini menjadi topik utama dalam ceramah-ceramah mereka, khususnya di musim kampanye. Di sisi lain, para penyelenggara dan pengawas pemilu harus tegas dan jujur dalam mencegah terjadinya politik uang/suap. Pemerintah juga diimbau untuk memperketat aturan terkait politk uang/suap ini agar tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab serta memperberat hukuman yang dijatuhkan atas para pelakunya. Dengan serius mengentaskan politik uang/suap inilah kita berharap akan terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya serta bangsa Indonesia menjadi baldatun ṭayyibatun wa rabbun gafūr.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat dan mencerahkan.

Wallāhu A’lamu biș-șawāb.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button