Hukum Melakukan Onani
Pertanyaan:
As-Salamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Saya seorang simpatisan Muhammadiyah, sudah lama dan sering membaca halaman-halaman yang ada dalam majalah Suara Muhammadiyah serta sudah memiliki buku Tanya Jawab Agama yang berjumlah lima jilid dan sudah barang tentu diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah pula. Tapi sejauh ini pula saya belum menemukan hal-hal yang menerangkan tentang (a) hukumnya onani yang hanya menerangkan sebatas batalnya puasa saja. Sedangkan hukum onani itu sendiri belum ada keterangannya.
Wa billahit-taufik wal-hidayah.
Was-Salamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Pertanyaan Dari:
B, Cirebon
(Disidangkan pada hari Jum’at, 14 Shafar 1431 H / 29 Januari 2010)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh
Berikut jawaban atas pertanyaan saudara di atas:
Onani (istimnâ’) atau masturbasi bagi perempuan adalah (perbuatan) mengeluarkan mani bukan melalui jalan persetubuhan, baik dengan telapak tangan atau dengan cara yang lainnya (Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, vol. I: 65). Namun penjelasan dalam kitab-kitab fikih, hemat kami cenderung pada kesimpulan bahwa onani adalah mengeluarkan mani atau sperma dengan disengaja dan dilakukan dengan menggunakan tangan, baik tangannya sendiri, tangan istri atau tangan budak perempuannya ketika syahwat sedang muncul dan atau memuncak.
Mengenai perbuatan ini, para fuqaha yang sejak dulu sudah membahasnya dalam kitab-kitab fikih karangan mereka terbagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama yaitu kalangan ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Zaidiyah yang mengharamkannya. Argumentasi mereka adalah bahwa Allah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam semua perilaku, kecuali untuk istri dan budak yang dihalalkan (milku al-yamîn).
Jika seseorang melampaui dua hal ini dan dia beronani, maka dia dianggap seperti kaum Ad yang melampaui batas dari apa yang dihalalkan Allah dan melakukan sesuatu yang diharamkan. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7) [المؤمنون، 23: 5-7]
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” [QS. al-Mu’minun (23): 5-7]
Kelompok kedua adalah kalangan ulama Hanafiyah yang berpendapat bahwa onani haram dalam kondisi tertentu dan wajib dalam kondisi yang lain. Mereka mengatakan: “Onani menjadi wajib, jika dia takut melakukan zina kalau tidak beronani, sesuai dengan kaidah fikih:
إِرْتِكَابُ أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ.
Artinya: “Mengambil perbuatan teringan dari dua mudarat (bahaya yang ada)”.
Sedangkan mereka yang mengatakan haram, jika dilakukan untuk memancing nafsu. Mereka mengatakan: “Tidak apa-apa dengan onani, jika nafsu sudah menguasai dirinya sementara dia belum memiliki istri atau budak wanita dengan tujuan mencari kestabilan”.
Kelompok ketiga adalah kalangan ulama mazhab Hambali yang mengatakan bahwa onani hukumnya haram, kecuali jika dia takut terjebak dalam perzinaan atau takut atas kesehatannya, sementara dia belum mempunyai istri atau budak wanita. Dia juga tidak mampu untuk menikah. Maka dalam kondisi seperti ini dia dibolehkan beronani.
Selain ketiga kelompok di atas, terdapat pendapat independen dari beberapa sahabat, tabi’in dan ulama lainnya di antaranya: Abdulah bin Umar ra., Abdulah bin Abbas ra., Atha’, al-Hasan, dan Ibnu Hazm. Ibnu Abbas ra. dan al-Hassan membolehkannya. Sedang Abdulah bin Umar ra. dan Atha’ memakruhkannya. Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani hukumnya makruh dan tidak berdosa, sebab seseorang menyentuh kemaluan sendiri dengan tangan kirinya hukumnya mubah sesuai dengan ijmak (kesepakatan para ulama). Jika memang mubah, maka hukum tidak akan berubah dari sifat mubah, kecuali sengaja mengeluarkan mani. (Fiqh as-Sunnah, vol. 3, h.424-426). Oleh sebab itu hukum asalnya tetap tidak haram, sebagaimana firman Allah:
وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ [الأنعام، 6: 119]
Artinya: “… sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu …” [QS. al-An’âm (6): 119]
Ayat ini tidak menunjukkan keharamannya. Dengan demikian, onani hukumnya halal, sebagaimana firman Allah:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ [البقرة، 2: 29]
Artinya:“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu …” [QS. al-Baqarah (2): 29]
Dari berbagai macam pendapat di atas, hemat kami bahwa onani hukumnya adalah makruh karena cenderung tidak etis dan tidak pantas dilakukan. Dan dalam kondisi tertentu dibolehkan, namun tidak boleh dilakukan secara rutin atau terus menerus. Kondisi tertentu itu antara lain seperti untuk kasus sepasang suami-istri yang terpisahkan tempat tinggalnya. Para sahabat pun dalam sebuah riwayat pernah melakukan onani ketika sedang bepergian melakukan perang. Juga dibolehkannya seorang istri yang sedang dalam keadaan haid membantu keluarnya mani sang suami (maaf, dengan tangan istri tersebut) di mana dalam keadaan tersebut sang istri sedang terhalang secara syar’i (agama) untuk melakukan hubungan suami istri. Sebagaimana merujuk pada sebuah riwayat dalam Shahih Muslim kitab al-Haidh (646):
حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ ، أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا، إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ، لَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ، فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ النَّبِيَّ . فَأَنْزَلَ الله تَعَالَى: وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ … إِلَى آخِرِ الآيَةِ. (البقرة الآية: 222) فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ :اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ. [رواه مسلم]
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Tsabit dari Anas ra. bahwa (suatu kebiasaan) orang-orang Yahudi apabila wanita-wanita mereka sedang haid, mereka tidak mau makan bersama-sama, bahkan tidak untuk tinggal serumah. Maka para sahabat bertanya perihal itu, lalu turun ayat: “Mereka bertanya tentang haid. Katakanlah: Haid itu kotor. Karena itu jauhilah wanita-wanita itu selama masa haid.” [QS. al-Baqarah (2): 222]. Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Kamu boleh melakukan segala-galanya selain bersenggama.” [HR. Muslim]
Selain itu, artinya bagi mereka yang membiasakan beronani dan tidak dalam kondisi tertentu, maka ia telah bermaksiat dan melakukan perbuatan yang terkategori pengantar menuju zina. Padahal Allah berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا [الإسرآء، 17: 32]
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” [QS. al-Isra’ (17): 32]
Dari segi kesehatan, jika onani atau masturbasi itu sering dilakukan dan menjadi kebiasaan, demikian dapat menggangu kesehatan jasmani (susunan syaraf) dan rohaninya (mental-pikiran). Juga dapat melemahkan potensi kelamin serta kemampuan ejakulasinya, sehingga sel sperma lelaki cenderung gagal bertemu dengan sel telur wanita (ovum) (al-Jurjawi, 1931:198-199).
Beberapa langkah yang dianjurkan agar setiap muslim menjauhi dan terhindar dari perbuatan onani ini di antaranya sebagai berikut:
- Menyibukkan diri dengan kegiatan atau aktifitas yang bermanfaat.
- Menjauhi hal-hal yang dapat mengarah dan menyebabkan maksiat dan nafsu syahwat seperti bacaan, film, dan media yang berbau pornografi dan lain-lainnya.
- Menikah jika seseorang tersebut sudah mampu. Namun jika belum mampu, sebagaimana Rasulullah saw. menganjurkannya untuk berpuasa.
Demikian jawaban dari kami, semoga dapat memberikan solusi dan pencerahan atas persoalan saudara.
Wallahu ‘alam bish-shawâb.
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No.11, 2010