Pertanyaan:
- Apakah bid’ah Imsak masih harus dipertahankan?
- Apakah di Kalender Muhammadiyah tidak akan dihilangkan Imsak 10 menit sebelum shubuh?
Pertanyaan Dari:
Sofyan Noor Arifin, di Tasikmalaya
(Suara Muhammadiyah No. 16 tahun ke-87/2002)
Jawaban:
Terlebih dahulu kami menyampaikan terima kasih kepada saudara yang telah melampirkan pada pertanyaan saudara dengan fotocopy Taisirul Alam syarah dari kitab Umdatul Ahkam, dimana oleh pengarang kitab tersebut telah menarik suatu kesimpulan dari hadits dan ayat dalam kitab tersebut, bahwa istilah Imsak kurang lebih 10 menit sebelum keluar fajar (dhubuh) dianggap suatu bid’ah. Dan rupa-rupanya saudara pun telah condong kepada istimbat pengarang itu, sehingga memunculkan pertanyaan seperti di atas tersebut.
Sebenarnya, sebagaimana sama-sama kita ketahui baik dari al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 187 atau dari hadits dari Anas Ibnu Malik dari Zaid Ibnu Tsabit radhiyallahu ‘anhu, yang intinya menahan diri tidak makan dan minum lagi (Imsak), kalau sudah adzan. Bahkan dalam hadits itu disebutkan pula antara adzan dan sahur ada tenggang waktu berkisar 50 bacaan ayat-ayat al Quran.
Menurut pendapat kami adanya istilah Imsak 10 menit seperti tercantum dalam Kalender Muhammadiyah itu belum dapat divonis sebagai suatu bid’ah. Kalaupun mau dikatakan bid’ah, adalah hanya dari segi bahasa, bukan segi Syar’iy, karena praktek seperti itu tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun masa shahabat.
Sesungguhnya istilah itu tidak lebih sebatas atau sekedar peringatan untuk berhati-hati belaka atau Ihtiyat saja, bukan untuk melarang untuk tidak boleh makan minum waktu 10 menit itu. Dengan lain perkataan itu dimaksudkan sebagai warning di Traffic Light seperti lampu kuning untuk siap-siap dan berhati-hati saja dan yang begitu tidak salah dan tidak terlarang dilihat dari kacamata Syara’.
Menurut hemat kami, istinbat yang dilakukan oleh pengarang buku itu, agak berlebihan serta timbul rasa khawatir yang tidak beralasan. Kita tidak boleh begitu saja memegang faham seseorang selama tidak menunjukkan dalil yang kuat, kita harus kritis dalam memahami suatu nash dari al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah.